Gursky-Doyen sengaja menggelar ekspedisi di pegunungan di Sulawesi untuk memastikan bahwa primata yang tergolong terkecil dan terlangka di dunia itu telah punah. Namun dia justru menjadi orang pertama dalam 80 tahun terakhir yang bukan saja berpapasan tapi juga digigit oleh primata pemakan serangga yang memiliki jari kurus panjang dan dapat memutar kepalanya sampai 180 derajat mirip seekor burung hantu itu.
Sebelumnya, sudah banyak tim ilmiah yang mencoba menemukan primata yang beratnya hanya 60 gram itu. Terlihat terakhir kali pada 1921, seekor tarsius pygmy memang sempat ditemukan dalam sebuah perangkap tikus yang dipasang oleh peneliti Indonesia di dataran tinggi Sulawesi delapan tahun lalu, tapi dalam kondisi mati.
Dalam ekspedisi selama dua bulan itu, Gursky-Doyen dan timnya menangkap dua tarsius lagi dan melihat tarsius keempat. Mereka memasang kalung pemancar pada ketiganya, dua jantan dan satu betina, sebelum melepasnya kembali.
Gursky-Doyen menjelaskan bahwa penemuan tarsius kerdil itu menunjukkan bahwa binatang lain di Pulau Sulawesi mungkin memiliki daerah jelajah yang lebih kecil dibanding yang diperkirakan. Itu membuat mereka lebih rentan terhadap kepunahan.
Tarsius pygmy berukuran separuh dari spesies tarsius lainnya. Mereka juga mempunyai cakar pada kaki dan tangannya, bukan kuku seperti yang dimiliki primata lain. Gursky-Doyen menduga cakar itu kemungkinan adalah bentuk adaptasi evolusioner untuk membantu mereka mencengkeram pepohonan yang tertutup lumut di habitatnya yang berkelembapan tinggi.
Selama ini, lembaga konservasi dunia IUCN mendaftarkannya dengan nama ilmiah Tarsius pumilus. Ia memang tidak disebut punah atau terancam punah, tapi sebagai satwa berkategori kurang data.
TJANDRA DEWI| SCIAM | MSNBC