Begini Riset Pemenang Hadiah Nobel 2021 Atasi Pedas Keripik Singkong Bandung
Reporter
Anwar Siswadi (Kontributor)
Editor
Zacharias Wuragil
Selasa, 2 November 2021 15:11 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Ahmad Faried mengupas temuan penting dari hasil riset pemenang hadiah Nobel 2021 bidang Kedokteran. Riset asal mula sensasi pada sebagian tubuh manusia itu disebut Faried berguna untuk penanganan beragam penyakit, termasuk untuk mengobati efek makan keripik singkong pedas.
Hadiah Nobel Kedokteran tahun ini diberikan kepada David Julius dari University of California, dan Ardem Patapoutian dari Howard Hughes Medical Institute. Keduanya dinilai telah berperan membuka kunci salah satu rahasia alam tentang kemampuan manusia merasakan panas, dingin dan sentuhan.
Faried yang merupakan dokter ahli ilmu dan bedah saraf mengulasnya dalam acara Satu Jam Berbincang Ilmu yang digelar Unpad secara virtual pada Sabtu, 30 Oktober 2021 dengan judul Sensasi, Rasa, dan Nobel Kedokteran 2021. Menurutnya, kalangan peneliti dan dokter saraf sejauh ini telah mengetahui mekanisme atau jalur bagaimana saraf bekerja. “Tapi siapa yang memulainya kita belum tahu,” kata dia.
Pertanyaan dasar itu, menurut Faried, yang dijawab David Julius dan Ardem Patapoutian. Keduanya mencari tahu asal mula rangsangan atau sensasi pada jenis nyeri, suhu, sentuhan, dan tekanan hingga sampai naik ke sensor utama di otak.
Pada rangsangan suhu, David Julius meneliti zat aktif dari cabe yang disebut capcaisin. “Bukan dari pedasnya tapi dari panas yang dihasilkan,” kata Faried menjelaskan.
Julius dan timnya mencari kandidat protein apa saja yang membuat capcaisin diterima sensor. Dari hasil risetnya pada 1997, ditemukan suatu kelas protein yang dinamakan TRPV1. Pada suhu kamar, gen itu akan tertutup salurannya (kanal) dan baru akan terbuka untuk ion-ion masuk pada suhu 43 derajat Celcius lebih lalu memulai rangkaian kelistrikan.
Secara bersamaan, kata Faried, tim peneliti menemukan gen sebaliknya yang dinamakan TRPM8. Gen itu baru membuka salurannya bagi ion-ion pada suhu kurang dari 16 derajat Celcius. “Mekanisme ini yang memulai semua rangkaian sensasi suhu di tubuh kita. Baik suhu yang terlalu dingin maupun panas, respons ujung-ujungnya adalah nyeri,” kata Wakil Ketua Unit Sel Punca RS Hasan Sadikin Bandung itu.
Pada sesi diskusi, Faried menjelaskan pertanyaan soal sensasi rasa keripik singkong buatan Bandung yang terkenal dengan belasan tingkat rasa pedas. Menurutnya, setiap orang punya ambang nyeri yang berbeda. Sehingga rasa pedas bagi tiap orang pun beragam. “Reseptornya sama tapi pembukaan ion channel-nya berbeda-beda,” kata dia.
Pemenang Nobel menurutnya juga membagi rahasia soal bagaimana menutup kanal ion itu dengan cepat. Misalkan saat kepedasan karena makan keripik singkong itu, kata Faried, anjurannya bukan minum air bening apalagi yang panas karena rasa pedas akan semakin terasa.
“Intermezonya dari pemenang Nobel, dia bilang kita bisa intervensi karena channel itu bila diberi dingin dia akan lebih cepat menutup,” kata dia. Air bening dingin bisa mengurangi rasa pedas. “Dia bilang yang paling cepat minum susu dingin.”
Adapun awal mula sensasi atau rangsangan sentuhan, diteliti oleh Ardem Patapoutian. Dia menemukan reseptor yang dengan sentuhan akan mengaktivasi gen dan protein untuk membuka ion channel. Dari serangkain gen yang diujinya, temuannya pada gen ke-72. “Ketika ditekan, semua kelistrikannya turun yang menandakan ion channel-nya terbuka, ini ditemukan pada 2010,” kata Faried.
Gen itu yang dinamakan Piezo 1 dan 2, ditemukan pada bagian tubuh seperti pembuluh darah, paru-paru, sel di otak, dan sendi. Temuan itu juga menjelaskan kondisi yang terjadi ketika orang kenyang, kebelet kencing, nyeri di wajah, maupun sakit pinggang. Adapun kerusakan gen Piezo, kata Faried, bisa membuat orang begitu kesakitan saat disentuh hingga jatuh pingsan.
Saat percobaan di laboratorium ketika kedua gen Piezo itu dimatikan, tikus bisa ikut mati. Sisi lainnya, peningkatan gen Piezo bisa membuat orang bebas dari malaria. “Bank Dunia menyatakan bahwa di Afrika, orang-orang dengan peningkatan Piezo 1 tidak terkena malaria,” katanya.
Bukan hanya yang memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran. Menurut Faried, banyak sekali yang menunjukkan bahwa penemuan ilmu dasar ini punya aplikasi pada upaya dokter untuk mengatasi masalah-masalah di klinis.
Baca juga:
Peneliti Uji Klinis Vaksin Sinovac Bicara Izin Pakai untuk Anak 6 Tahun
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.