Pembangunan dan Deforestasi ala Siti Nurbaya, Ahli Jelaskan Isi Paris Agreement

Reporter

Antara

Jumat, 5 November 2021 11:03 WIB

Presiden Jokowi didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar meninjau penanaman pohon di Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin, 3 Februari 2020. Desa ini sebelumnya sempat terisolasi lantaran aksesnya terputus karena longsor yang terjadi awal Januari 2020 lalu. TEMPO/Subekti.

TEMPO.CO, Jakarta - Kontroversi pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengundang tanggapan luas. Dalam cuitannya di Twitter pada 3 November 2021, Siti menulis, “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”

Diduga menyadari tanggapan negatif yang banyak didulangnya, ia kemudian meminta netizen untuk membaca pesannya tentang deforestasi secara utuh. Siti mengarahkan ke akun Facebook miliknya yang menjelaskan bahwa Indonesia menginisiasi Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink 2030 yang bukan berarti nol deforestasi.

Dalam cuitan berikutnya pada 4 November, Siti kembali memberi klarifikasi bahwa arahan Presiden Jokowi sudah sangat jelas bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah harus seiring sejalan dengan kebijakan untuk menurunkan deforestasi dan emisi atau harus ada keseimbangan. “Pesan itu telah direalisasikan dalam langkah kerja lapangan yang dalam beberapa waktu ini terus berlangsung,” cuitnya.

Profesor dan Peneliti Ahli Utama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Edvin Aldrian, menanggapi cuitan-cuitan dari Menteri Siti Nurbaya itu dengan menjelaskan perbedaan Paris Agreement yang dihasilkan dalam COP21 pada 2015 dari Protokol Kyoto perihal komitmen negara-negara di dunia menghadapi perubahan iklim. Menurutnya, pembangunan besar-besaran benar bisa tetap dihela seperti yang disuarakan Menteri Siti.

Tapi, sesuai isi Paris Agreement, syaratnya harus ‘net zero emission’ atau seimbang antara penyerapan dan emisi karbonnya. "Bisa, ya, bisa. Inikan beda sama Protokol Kyoto, sekarang Paris Agreement. Publik harus tahu," kata Edvin yang juga merupakan Wakil Ketua Kelompok Kerja I dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) saat dihubungi di Jakarta, Kamis 4 November 2021.

Advertising
Advertising

Edvin menjelaskan Protokol Kyoto yang merupakan persetujuan internasional tentang pemanasan global, mengharuskan negara-negara industri yang meratifikasinya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) mereka sebesar 5,2 persen dibanding emisi 1990. Sehingga jika ada negara yang menghasilkan emisi melebihi persentase 1990, mereka harus bisa memotongnya.

"Tapi kalau Paris Agreement itu lebih fleksibel. Jadi silakan membangun, yang penting kamu mencapai 'net zero emission'. Begitu," ujar dia.

Karena fleksibilitas Paris Agreement itulah, Edvin menerangkan, negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada meninggalkan Protokol Kyoto. Negara-negara G20 juga mendukung pemufakatan yang dihasilkan dalam COP15 di Paris tersebut.

“Berbeda sekali dengan Protokol Kyoto yang jadi seolah-olah menahan pembangunan sehingga kondisinya seperti kembali ke tahun 1990-an, Paris Agreement lebih bebas tapi perlu dipersiapkan betul penyeimbangnya harus ada,” kata dia mengingatkan.

Cara penyeimbangnya itu bisa bermacam-macam dan tidak harus nol deforestasi. Bisa dari sektor energi atau juga keuangan, misalnya memakai insentif fiskal, pajak karbon, obligasi hijau dalam bentuk rupiah atau dolar, sukuk hijau. "Jadi strategi pembangunan seperti apa terserah masing-masing negara. Enggak harus zero deforestation," ujar dia.

Baca juga:
Peneliti: Indonesia Sumbang Emisi Karbon, Terbesar dari Deforestasi

Berita terkait

Airlangga Klaim Amerika Dukung Penundaan UU Anti Deforestasi Uni Eropa

2 hari lalu

Airlangga Klaim Amerika Dukung Penundaan UU Anti Deforestasi Uni Eropa

Amerika Serikat diklaim mendukung penundaan kebijakan UU Anti Deforestasi Uni Eropa yang dianggap merugikan sawit Indonesia.

Baca Selengkapnya

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

3 hari lalu

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

Kehadiran itu membahayakan tujuan perjanjian, yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Baca Selengkapnya

Masukkan Sektor Laut Dalam Second NDC, KLHK: Ekosistem Pesisir Menyerap Karbon

5 hari lalu

Masukkan Sektor Laut Dalam Second NDC, KLHK: Ekosistem Pesisir Menyerap Karbon

KLHK memasukkan sektor kelautan ke dalam dokumen Second NDC Indonesia. Potensi mangrove dan padang lamun ditonjolkan.

Baca Selengkapnya

Amerika Perkuat Infrastruktur Transportasinya dari Dampak Cuaca Ekstrem, Kucurkan Hibah 13 T

7 hari lalu

Amerika Perkuat Infrastruktur Transportasinya dari Dampak Cuaca Ekstrem, Kucurkan Hibah 13 T

Hibah untuk lebih kuat bertahan dari cuaca ekstrem ini disebar untuk 80 proyek di AS. Nilainya setara separuh belanja APBN 2023 untuk proyek IKN.

Baca Selengkapnya

Diskusi di Jakarta, Bos NOAA Sebut Energi Perubahan Iklim dari Lautan

10 hari lalu

Diskusi di Jakarta, Bos NOAA Sebut Energi Perubahan Iklim dari Lautan

Konektivitas laut dan atmosfer berperan pada perubahan iklim yang terjadi di dunia saat ini. Badai dan siklon yang lebih dahsyat adalah perwujudannya.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Ihwal Banjir Bandang Dubai: Dipicu Perubahan Iklim dan Badai Vorteks

10 hari lalu

Peneliti BRIN Ihwal Banjir Bandang Dubai: Dipicu Perubahan Iklim dan Badai Vorteks

Peningkatan intensitas hujan di Dubai terkesan tidak wajar dan sangat melebihi dari prediksi awal.

Baca Selengkapnya

5 Hal Banjir Dubai, Operasional Bandara Terganggu hingga Lumpuhnya Pusat Perbelanjaan

11 hari lalu

5 Hal Banjir Dubai, Operasional Bandara Terganggu hingga Lumpuhnya Pusat Perbelanjaan

Dubai kebanjiran setelah hujan lebat melanda Uni Emirat Arab

Baca Selengkapnya

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

16 hari lalu

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

Maret 2024 melanjutkan rekor iklim untuk suhu udara dan suhu permukaan laut tertinggi dibandingkan bulan-bulan Maret sebelumnya.

Baca Selengkapnya

Aktivis Greta Thunberg Ditangkap Dua Kali Saat Unjuk Rasa di Belanda

21 hari lalu

Aktivis Greta Thunberg Ditangkap Dua Kali Saat Unjuk Rasa di Belanda

Aktivis Greta Thunberg ditangkap lagi setelah dibebaskan dalam unjuk rasa menentang subsidi bahan bakar minyak.

Baca Selengkapnya

BRIN Kembangkan Metode Daur Ulang Baterai Litium Ramah Lingkungan

25 hari lalu

BRIN Kembangkan Metode Daur Ulang Baterai Litium Ramah Lingkungan

Peneliti BRIN tengah mengembangkan metode baru daur ulang baterai litium. Diharapkan bisa mengurangi limbah baterai.

Baca Selengkapnya