Kebanyakan Teknologi Tangkap Karbon Malah Tambah Emisi ke Udara

Selasa, 22 Februari 2022 08:00 WIB

Efek Rumah Kaca diyakini oleh para ahli sebagai salah satu sebab berakhirnya kehidupan di Bumi. Efek Rumah Kaca disebabkan naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), klorofluorokarbon (CFC), dan gas-gas lainnya di atmosfer. Sejak Revolusi Industri, manusia telah disalahkan sebagai penyebab terganggunya keseimbangan atmosfer sehingga terjadi perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi, suhu air laut dan permukaan bumi naik. Para ilmuwan memperingatkan bahwa efek rumah kaca akan menyebabkan suhu melambung beberapa ratus derajat Celsius, membuat laut mendidih dan kehidupan di Bumi akan berakhir. rightnow.org.au

TEMPO.CO, Jakarta - Kebanyakan teknologi tangkap karbon dan utilisasi, yang berusaha menyerap karbon dioksida dari udara lalu menggunakannya untuk proses-proses industri yang rendah emisi, ternyata pada akhirnya mengemisikan lebih banyak karbon daripada yang mereka tangkap. Temuan ini menduga kalau proyek-proyek teknologi itu, yang telah mengundang investasi miliaran dolar, tidak akan berperan banyak untuk bisa mencapai target emisi sesuai Perjanjian Paris yang ingin menahan kenaikan suhu pemanasan global tak lebih dari 1,5 derajat Celsius dibandingkan masa pra-industri.

Teknologi carbon capture and utilisation (CCU) menangkap karbon dioksida dari atmosfer, secara langsung dari udara atau menyerapnya dari sumber-sumber polusi, lalu mengalihkannya untuk digunakan dalam proses seperti pembuatan bahan bakar, plastik dan beton. Tidak seperti teknologi yang sebatas menangkap karbon (straightforward), teknologi CCU tidak menyimpan CO2 lama-lama. Teknologi CCU menggunakan energi untuk mengubah CO2 itu menjadi bahan bakar, atau menggunakan C02 itu sendiri untuk mendorong proses-proses industri seperti ekstraksi minyak atau pertanian.

Kiane de Kleijne dari Radboud University, Belanda, dan koleganya mengkaji siklus kerja lebih dari 40 teknologi CCU terhadap tiga kriteria: dapatkah mereka menyimpan CO2 permanen; apakah CO2 yang mereka kumpulkan berasal dari atmosfer atau sumber-sumber alami; dan apakah proses yang mereka kerjakan bersifat emisi nol.

Kleijne dan timnya menemukan kalau mayoritas teknologi CCU tersebut gagal memenuhi kriteria tersebut, dengan 32 dari 40 di antaranya mengemisikan lebih banyak karbon daripada yang ditangkap. Hanya empat metode yang kelihatannya siap digunakan, itupun mereka masih menghasilkan sejumlah kecil karbon secara netto. Ini termasuk teknologi yang memanfaatkan CO2 dalam produksi beton dan untuk ekstraksi minyak. Kleijne dkk melaporkan temuannya itu dalam Jurnal One Earth yang terbit 18 Februari 2022.

"Jika Anda terjebak dengan sebuah teknologi yang tidak memiliki potensi untuk benar-benar mereduksi emisi secara drastis, maka itu bisa jadi sebuah situasi yang tidak diinginkan," kata de Kleijne.

Advertising
Advertising

Selain malah lebih banyak mengeluarkan karbon, banyak teknologi itu sepertinya juga belum siap untuk dikerahkan pada skala besar, sehingga mereka mungkin tidak membantu dalam usaha pencapaian target pengurangan emisi 2030 menurut Perjanjian Paris. "Tenggat 2030 itu sudah dekat, dan banyak dari teknologi ini masih dalam pengembangan," katanya lagi sambil berharap hasil risetnya itu akan menolong para pembuat kebijakan dan investor memutuskan teknologi mana yang lebih berharga dikembangkan.

Menanggapinya, Guloren Turan dari Global CCS Institute, sebuah lembaga pemikir internasional yang mempromosikan penggunaan teknologi carbon capture, mengatakan bahwa teknologi CCU tidaklah seragam satu sama lain. "Ada sejumlah persepsi positif dari CCU, tapi poinnya adalah tidak semua teknologi CCU sama," katanya.

Stuart Haszeldine dari University of Edinburgh, Inggris, juga mengatakan kalau teknologi tangkap karbon dan utilisasi tak bisa menghindar dari kebutuhan menggunakan lebih banyak karbon. Menurut dia, lebih masuk akal jika karbonnya sebatas disimpan selama ribuan tahun. "Ini mungkin akan lebih baik, dalam hal mengambil CO2 dari iklim dunia, untuk hanya fokus pada yang pasti aman yakni penangkapan, memindahkan dan menyimpannya," kata dia.

NEW SCIENTIST, CELL

Baca juga:
BMKG: Hujan Es di Surabaya dari Awan Menjulang 9 Kilometer


Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Berita terkait

5 Manfaat Energi Terbarukan yang Harus Dilestarikan

13 menit lalu

5 Manfaat Energi Terbarukan yang Harus Dilestarikan

Energi terbarukan perlu dijaga kelestariannya untuk generasi mendatang karena memiliki beberapa manfaat. Simak lima manfaat energi terbarukan.

Baca Selengkapnya

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

8 hari lalu

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

Salah satu Rukun Tetangga (RT) di wilayah Jakarta Timur kini tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Baca Selengkapnya

Pertamina International Shipping Catat Penurunan Emisi Karbon 25.445 Ton

9 hari lalu

Pertamina International Shipping Catat Penurunan Emisi Karbon 25.445 Ton

PT Pertamina International Shipping mencatat data dekarbonisasi PIS turun signifikan setiap tahun.

Baca Selengkapnya

Walhi Tuntut Jepang Akhiri Pendanaan Proyek Gas Fosil yang Menimbulkan Bencana

11 hari lalu

Walhi Tuntut Jepang Akhiri Pendanaan Proyek Gas Fosil yang Menimbulkan Bencana

Menurut Walhi, pasca Perjanjian Paris, JBIC justru menjadi penyandang dana gas fosil terbesar di Asia Tenggara.

Baca Selengkapnya

Indonesia Akan Menyampaikan Second NDC Perjanjian Paris pada Agustus 2024

14 hari lalu

Indonesia Akan Menyampaikan Second NDC Perjanjian Paris pada Agustus 2024

Sebagai bagian dari komitmen Perjanjian Paris, Indonesia akan menyampaikan second NDC pada Agustus 2024.

Baca Selengkapnya

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

19 hari lalu

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

Dubai terdampak badai yang langka terjadi di wilayahnya pada Selasa lalu, 16 April 2024.

Baca Selengkapnya

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

23 hari lalu

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

Maret 2024 melanjutkan rekor iklim untuk suhu udara dan suhu permukaan laut tertinggi dibandingkan bulan-bulan Maret sebelumnya.

Baca Selengkapnya

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

41 hari lalu

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

Fenomena penguapan air dari tanah akan menggerus sumber daya air di masyarakat. Rawan terjadi saat kemarau.

Baca Selengkapnya

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

48 hari lalu

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

AMAN mengidentifikasi belasan masyarakat adat di IKN Nusantara dan sekitarnya. Mereka terancam rencana investasi proyek IKN dan dampak krisis iklim.

Baca Selengkapnya

13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

48 hari lalu

13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

Studi hujan salju di masa depan mengungkap ladang ski dipaksa naik ke dataran lebih tinggi dan terpencil. Ekosistem pegunungan semakin terancam.

Baca Selengkapnya