Fenomena Embun Beku di Papua Saat Ini, Peneliti: Tak Ada Pengaruh dari Australia

Kamis, 11 Agustus 2022 23:06 WIB

Dampak kekeringan yang dialami masyarakat di Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, akibat fenomena cuaca ekstrem embun beku. (ANTARA/HO-Dokumen Pribadi)

TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena embun beku pada akhir Juli lalu menyebabkan gagal panen yang berdampak kelaparan ratusan warga di kawasan pegunungan Lanny Jaya, Papua. Peneliti klimatologi dari Badan Riset Inovasi Nasional atau BRIN mengungkapkan faktor penyebab embun beku itu.

Menurut peneliti itu, Erma Yulihastin, embun beku kerap terjadi pada dinihari hingga pagi di daerah pegunungan dan lembah selama musim kemarau di Indonesia. Pembentukan embun beku di atas tanaman biasanya terjadi pada wilayah dengan karakteristik topografi yang membuat aliran angin terjebak di wilayah tersebut.

Embun beku, atau yang biasa juga disebut embun upas, dapat terjadi karena kombinasi sifat udara yang dingin dan kering. Selain itu ada selisih yang besar antara temperatur udara maksimum dengan suhu titik embun. “Sehingga pendinginan udara kering di permukaan terjadi meningkat secara ekstrem,” ujarnya lewat keterangan tertulis, Kamis 11 Agustus 2022.

Anomali angin monsun timuran dari Australia yang menguat dapat memperkuat sifat angin permukaan yang dingin dan kering. Kondisi itu dipicu oleh musim dingin di negara Australia yang ekstrem.

Berdasarkan data pengamatan satelit, kata Erma, tampak musim dingin di Australia memiliki kecenderungan semakin hangat secara persisten sejak 2017. Akibatnya angin monsun Australia yang bertiup menuju Indonesia mengalami pelemahan.

Advertising
Advertising

Karenanya, menurut Erma, fenomena embun beku parah yang terjadi di Papua saat ini lebih disebabkan oleh faktor lokal yang menguat. “Karena perubahan pada unsur cuaca dalam skala harian di wilayah tersebut,” ujarnya. Perubahan unsur cuaca harian itu meliputi suhu maksimum, suhu minimum, dan kelembapan.

Data cuaca dari Bandara Sentani, Papua, yang dikirim ke Badan Meteorologi Dunia WMO, menunjukkan suhu maksimum mencapai lebih dari 34 derajat Celsius. Suhu minimum berkisar 22-23 derajat Celsius, dan temperatur titik embun rata-rata 21-22 derajat Celsius. Kondisi itu bertahan secara menerus selama lima hari 24-28 Juli 2022.

Suhu maksimum itu menurutnya yang tertinggi selama Juli dan melebihi kondisi normalnya. Kondisi serupa pernah terjadi pada Juli 2020. Tendensi terjadinya peningkatan suhu maksimum dan penurunan suhu minimum harian ini disertai kelembapan udara yang rendah, yaitu kurang dari 77 persen yang membuktikan udara cenderung kering di wilayah Papua.

Kondisi itu, menurut Erma, diperparah oleh ketiadaan awan di atas wilayah Indonesia karena dampak dari pembentukan bibit siklon tropis di Belahan Bumi Utara beberapa waktu lalu dan akan berlanjut selama Agustus 2022. “Sehingga fenomena embun upas dapat terus berlanjut di berbagai kawasan pegunungan tinggi di Indonesia,” ujarnya.

Seorang petani melintas di lahan kebun sayur yang diselimuti embun beku di kawasan Candi Arjuna, Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, Sabtu, 4 Agustus 2018. ANTARA/Novrian Arbi

Cuaca ekstrem telah melanda sebagian wilayah Kabupaten Lanny Jaya sejak Juni 2022, yang diawali dengan fenomena embun beku dan hujan es. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Papua menginformasikan kondisi tersebut menyebabkan gagal panen, yang selanjutnya diperburuk dengan kekeringan.

Menurut BNPB, Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya telah menetapkan status tanggap darurat dari 24 Juli hingga 30 Agustus 2022 dan membentuk Posko Penanganan Darurat Bencana Alam Embun Beku dan Hujan Es. Diperkirakan, cuaca ekstrem berlangsung selama lima bulan, berdasarkan fenomena serupa yang terjadi pada 2016.

Fenomena cuaca ekstrem tersebut dilaporkan berdampak pada Distrik Kuyawage, yang meliputi Kampung Luarem, Jugu Nomba, Uwome, dan Tumbubur. Sebanyak 548 keluarga yang terdiri atas 2.740 jiwa berpotensi terdampak kekeringan di wilayah tersebut dan 56 hektare lahan perkebunan di wilayah itu bisa rusak akibat cuaca ekstrem.

Baca juga:
Kenapa Pentagon Kutuk Peluncuran Satelit Kosmos Rusia? Apa Alasannya?


Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Berita terkait

Cuaca Ekstrem, Pemerintah Siapkan Impor Beras 3,6 Juta Ton

5 jam lalu

Cuaca Ekstrem, Pemerintah Siapkan Impor Beras 3,6 Juta Ton

Zulkifli Hasan mengatakan impor difokuskan ke wilayah sentra non produksi guna menjaga kestabilan stok beras hingga ke depannya.

Baca Selengkapnya

Penanganan Polusi Udara, Peneliti BRIN Minta Indonesia Belajar dari Cina

12 jam lalu

Penanganan Polusi Udara, Peneliti BRIN Minta Indonesia Belajar dari Cina

Cina menjadi salah satu negara yang bisa mengurangi dampak polusi udaranya secara bertahap. Mengikis dampak era industrialisasi.

Baca Selengkapnya

BRIN Undang Periset dan Mahasiswa Ikut Platform Kolaborasi Biologi Struktur untuk Gali Potensi Keanekaragaman Hayati

1 hari lalu

BRIN Undang Periset dan Mahasiswa Ikut Platform Kolaborasi Biologi Struktur untuk Gali Potensi Keanekaragaman Hayati

BRIN terus berupaya menemukan metode yang paling baru, efektif, dan efisien dalam proses pemurnian protein.

Baca Selengkapnya

Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

1 hari lalu

Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

Sekarang ukuran roket juga tidak besar, tapi bisa mengangkut banyak satelit kecil.

Baca Selengkapnya

Ketergantungan Impor 99 Persen, Peneliti BRIN Riset Jamur Penghasil Enzim

2 hari lalu

Ketergantungan Impor 99 Persen, Peneliti BRIN Riset Jamur Penghasil Enzim

Di Indonesia diperkirakan terdapat 200 ribu spesies jamur, yang di antaranya mampu memproduksi enzim.

Baca Selengkapnya

Lima Besar Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia, Apa Saja?

2 hari lalu

Lima Besar Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia, Apa Saja?

Polusi udara yang erat kaitannya dengan tingginya beban penyakit adalah polusi udara dalam ruang (rumah tangga).

Baca Selengkapnya

Riset BRIN: Penduduk Indonesia Akan Kehilangan 2,5 Tahun Usia Harapan Hidup Akibat Polusi Udara

2 hari lalu

Riset BRIN: Penduduk Indonesia Akan Kehilangan 2,5 Tahun Usia Harapan Hidup Akibat Polusi Udara

Efek polusi udara rumah tangga baru terlihat dalam jangka waktu relatif lama.

Baca Selengkapnya

Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

3 hari lalu

Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

Artikel soal kerusakan alat pemantau erupsi Gunung Ruang menjadi yang terpopuler dalam Top 3 Tekno hari ini.

Baca Selengkapnya

Kisruh Rumah Dinas Puspiptek, Pensiunan Peneliti Pernah Laporkan BRIN ke Kejaksaan Agung

3 hari lalu

Kisruh Rumah Dinas Puspiptek, Pensiunan Peneliti Pernah Laporkan BRIN ke Kejaksaan Agung

Penghuni rumah dinas Psupiptek Serpong mengaku pernah melaporkan BRIN ke Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan aset negara

Baca Selengkapnya

Pensiunan Puspitek Sebut Permintaan Pengosongan Rumah Dinas Sudah Ada Sejak 2017, Namun Batal

4 hari lalu

Pensiunan Puspitek Sebut Permintaan Pengosongan Rumah Dinas Sudah Ada Sejak 2017, Namun Batal

Pensiunan Puspitek menyatakan Menristek saat itu, BJ Habibie, menyiapkan rumah dinas itu bagi para peneliti yang ditarik dari berbagai daerah.

Baca Selengkapnya