Peneliti BRIN Ungkap Masalah Akurasi Alat Pemantau Kualitas Udara Low-Cost Sensors

Jumat, 3 November 2023 13:26 WIB

Petugas BMKG menjelaskan kepada warga alat low cost sensor air quality untuk pengukur kualitas udara saat Festival Ayo Birukan Lagi Langit Jakarta di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 16 Juli 2023. Kegiatan ini juga bertujuan mengajak masyarakat peduli untuk menjaga kualitas udara Jakarta. ANTARA/Asprilla Dwi Adha

TEMPO.CO, Jakarta - Kondisi kualitas udara bisa diukur oleh perangkat di stasiun pemantau maupun alat yang dinamakan Low-Cost Sensors atau LCS. Teknologi LCS marak digunakan secara global namun masih punya kekurangan.

“Fakta di lapangan bahwa data LCS belum seakurat seperti instrumen yang digunakan di stasiun pemantauan kualitas udara,” kata Kemal Maulana Alhasa, peneliti Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih di Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Rabu, 1 November 2023.

LCS menjadi topik risetnya untuk disertasi saat studi di Malaysia pada 2015-2020. Menurut Kemal, sistem di stasiun pemantau kualitas udara pada umumnya menggunakan perangkat yang dikenal dengan istilah Reference Method atau Reference Instrument. Perangkatnya disertifikasi oleh instansi standar yaitu Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau US EPA.

Klasifikasinya terbagi dua yaitu Federal Reference Method (FRM) dan Federal Equivalent Method (FEM). FEM merupakan pengembangan teknologi baru yang akurasinya mendekati FRM. Setiap tahun US EPA memutakhirkan daftar instrumen untuk sertifikasi kedua metode tersebut. Standar itu, menurut Kemal, menjadi acuan negara lain di dunia termasuk para pembuat alat pemantau kualitas udara.

Secara umum, perangkat sistemnya ditempatkan di dalam sebuah ruang atau kabin dengan kondisi terkontrol misalnya terkait suhu dan kelembapan. Alat pengambilan sampel gas atau partikel udara yang akan diukur ditempatkan di luar ruangan atau di atap. Sampel udara yang terkumpul lalu disaring untuk menghilangkan uap air kemudian di pompa ke dalam guna dianalisis oleh instrumen. “Untuk membaca konsentrasi polutan yang ada di kawasan tersebut,” ujar Kemal.

Advertising
Advertising

Meskipun tingkat akurasinya teruji, harga alat itu terhitung mahal. Untuk satu paramater pengukuran misalnya materi partikulat atau particulate matter berkisar US$ 1.000-50.000. Karena itu, kata Kemal, dikembangkan alat yang lebih murah yaitu LCS. Harga sensornya saja kini yang paling murah berkisar Rp 100-200 ribu juga ada sekitar Rp 1-2 juta dengan perbedaan kualitas

Selain itu ada LCS hingga seharga puluhan juta rupiah untuk mengkur materi partikulat. Produsen alatnya berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Muncul pada awal 1980, sejak 2006 semakin banyak akademisi dan peneliti yang mengembangkan LCS. “Sebagai alternatif pemantauan kualitas udara di kawasan perkotaan,” kata dia.

Sejauh ini, menurutnya, US EPA maupun World Meteorological Organization atau WMO belum memasukkan LCS sebagai alat pemantau kualitas udara. Protokol LCS juga belum ada yang pasti untuk dijadikan rujukan. Saat ini para peneliti atau akademisi masih mengembangkan metode kalibrasi yang tepat dan dapat digunakan secara global.

Walau begitu, Amerika Serikat dan negara Eropa, seperti Norwegia, Swiss, Italia, Spanyol, dan Inggris, telah memasang LCS sebagai pendukung jaringan stasiun pemantauan kualitas udara. “Kalau punya banyak jaringan sistem LCS akan sangat membantu dalam menentukan sumber-sumber polusi lokal,” ujar Kemal. LCS difungsikan sebagai penanda awal atau peringatan dini kualitas udara di suatu tempat. Hasil pengukurannya kemudian diverifikasi oleh stasiun pemantau yang bisa bergerak atau mobile.

Di negara luar, pemerintah bekerja sama dengan kalangan akademisi lewat institusi perguruan tinggi, dan warga atau komunitas masyarakat untuk membangun jaringan sistem pemantauan kualitas udara dari stasiun pengamatan hingga pemasangan LCS di berbagai lokasi. Menurut Kemal, Indonesia belum memiliki aturan seperti itu. “Sebaiknya pemerintah yang harus mengatur regulasi dan bagaimana pengolahan datanya sebelum dipublikasikan ke masyarakat,” ujarnya.

Radius Stasiun Pemantauan Kualitas Udara, menurut Kemal, terbatas sejauh 10 kilometer atau kurang. Di kota seperti Jakarta dibutuhkan banyak stasiun pemantauan. Penempatannya bisa untuk memantau sumber polusi maupun wilayah yang terdampak pencemaran. Keterbatasan jumlah dan anggaran untuk stasiun pemantauan bisa dibantu oleh LCS, namun alatnya harus dikalibrasi ulang sebelum dipakai.

Kemal mengatakan ada dua metode, yaitu dengan laboratorium kalibrasi di ruangan yang terkontrol dan kolokasi. Kalibrasi itu mendapatkan formula untuk memperbaiki akurasi data dari LCS. Idealnya kalibrasi ulang dilakukan secara berkala per tiga bulan, kecuali hasil datanya masih bagus dan tidak ada penyimpangan.

LCS bisa mengukur polutan dalam bentuk gas. Jenisnya secara umum ada metal oxide sensors, kemudian electrochemical sensors yang paling banyak digunakan oleh vendor penyedia sistem LCS. Teknologinya mempunyai ketahanan yang lebih dari ganguan faktor meteorologi seperti suhu dan kelembapan.

Jenis berikutnya LCS berbasis infrared yang lebih tahan dari ganguan faktor meteorologi namun resolusi pengukurannya masih pada level konsentrasi tinggi di rentang parts per million (ppm). Alat itu lebih cocok untuk mengukur gas seperti karbon monoksida atau karbon dioksida. Kemudian LCS yang menggunakan optik dengan memanfaatkan ionisasi sinar ultraviolet atau disebut photoionization detector. Sedangkan untuk mengukur materi partikulat, ada nephelometer dan optical particle counter yang teknologinya berbasis optik.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Berita terkait

Revisi UU Polri, Peneliti BRIN Soroti Potensi Kecemburuan di Internal Polisi

11 menit lalu

Revisi UU Polri, Peneliti BRIN Soroti Potensi Kecemburuan di Internal Polisi

Peneliti BRIN Sarah Nuraini Siregar menanggapi potensi kecemburuan di internal polisi akibat revisi UU Polri yang dapat memperpanjang masa jabatan aparat penegak hukum tersebut.

Baca Selengkapnya

Revisi UU Polri Perpanjang Usia Pensiun Polisi, Ini Kata Peneliti BRIN

3 jam lalu

Revisi UU Polri Perpanjang Usia Pensiun Polisi, Ini Kata Peneliti BRIN

Peneliti BRIN menanggapi mengenai revisi UU Polri yang bisa memperpanjang jabatan polisi.

Baca Selengkapnya

Perangkat Portabel Buatan BRIN Ini Bisa Deteksi Penyakit Tanaman Teh

18 jam lalu

Perangkat Portabel Buatan BRIN Ini Bisa Deteksi Penyakit Tanaman Teh

Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber BRIN mengembangkan alat deteksi dini penyakit tanaman teh berbasis pembelajaran mesin.

Baca Selengkapnya

Daftar Kota dengan Kualitas Udara Terbaik di Indonesia

1 hari lalu

Daftar Kota dengan Kualitas Udara Terbaik di Indonesia

Meski Indonesia memiliki kota dengan kualitas buruk, namun masih terdapat beberapa kota dengan kualitas udara terbaik. Berikut penjelasannya.

Baca Selengkapnya

BRIN Kembangkan Sensor Pendeteksi Kecemasan dan Stres Pegawai

1 hari lalu

BRIN Kembangkan Sensor Pendeteksi Kecemasan dan Stres Pegawai

Riset ini berpeluang untuk membuat pemetaan sensor yang bisa mendeteksi kecemasan dan tingkat stres pada pegawai.

Baca Selengkapnya

Peneliti Khawatir Berang-berang di DAS Ciliwung Terancam Punah, Kotorannya Mengandung Bioplastik

1 hari lalu

Peneliti Khawatir Berang-berang di DAS Ciliwung Terancam Punah, Kotorannya Mengandung Bioplastik

Berang-berang semakin sulit ditemukan di Sungai Ciliwung.

Baca Selengkapnya

Studi HAM Universitas di Banjarmasin: Proyek IKN Tak Koheren dan Gagal Uji Legitimasi

2 hari lalu

Studi HAM Universitas di Banjarmasin: Proyek IKN Tak Koheren dan Gagal Uji Legitimasi

Tim peneliti di Pusat Studi HAM Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin mengkaji proses Ibu Kota Negara (IKN): sama saja dengan PSN lainnya.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Sebut Awan Lindungi Indonesia dari Gelombang Panas, Bagaimana Mekanismenya?

3 hari lalu

Peneliti BRIN Sebut Awan Lindungi Indonesia dari Gelombang Panas, Bagaimana Mekanismenya?

Indonesia relatif terlindungi dari heatwave mayoritas areanya adalah laut dan terdiri dari banyak pulau. Awan juga mengurangi dampak paparan surya.

Baca Selengkapnya

Temuan Peneliti MIT Mengklaim AI Telah Mempelajari Cara Menipu Manusia

4 hari lalu

Temuan Peneliti MIT Mengklaim AI Telah Mempelajari Cara Menipu Manusia

Kemampuan sistem AI ini dapat melakukan hal-hal seperti membodohi pemain game online atau melewati captcha.

Baca Selengkapnya

Badai Geomagnetik Picu Gangguan Sinyal di Indonesia dan Dunia, Begini Kata Peneliti BRIN

4 hari lalu

Badai Geomagnetik Picu Gangguan Sinyal di Indonesia dan Dunia, Begini Kata Peneliti BRIN

Ilmuwan NOAA mendeteksi badai geomagnetik terbaru yang terjadi pada 11 Maret 2024 dan dampaknya diperkirakan berlanjut hingga Mei ini.

Baca Selengkapnya