Kasus serupa terjadi dalam kasus pendaratan darurat pesawat US Airways Flight 1549 pada Januari lalu. Awak kokpit mengetahui bahwa pesawat mereka telah menabrak kawanan burung setelah lepas landas dari Bandara La Guardia, New York, Amerika Serikat. Kedua mesinnya mati dan Kapten Chesley Sullenberger harus mendaratkan pesawatnya di Sungai Hudson dan menyelamatkan 155 penumpang pesawat itu.
Petugas segera mengetahui bahwa penyebab kecelakaan yang terjadi pada 15 Januari tersebut adalah angsa Kanada. Tetapi, ada satu hal yang masih menjadi misteri, yaitu dari mana angsa tersebut berasal, apakah mereka angsa migran yang kerap berpindah antarnegara dan benua atau angsa yang memang menghuni kawasan itu. Perbedaan ini amat penting bagi pengelola bandar udara mencari strategi untuk mengusir burung itu dari jalur penerbangan pesawat.
Satu-satunya lembaga yang bisa membongkar identitas burung itu adalah museum. Dalam kasus ini, Laboratorium Identifikasi Bulu di Smithsonian National Museum of Natural History di Washington bertindak sebagai detektif utama. Para ilmuwan di laboratorium itu juga dibantu oleh Field Museum di Chicago.
"Kami mencoba memberi tahu orang bahwa adanya laboratorium ini punya alasan kuat dan kasus ini membantu mendemonstrasikan hal itu," kata John Bates, ahli ornitologi yang menangani 480 ribu koleksi burung di Field Museum. Koleksi burung yang ada di museum itu termasuk burung hummingbird yang ukurannya hanya 1 inci sampai burung unta setinggi lima kaki.
Deretan lemari laci yang tersebar di berbagai tempat di lantai dua museum berusia 116 tahun itu menyimpan spesimen dari 90 persen spesies burung di dunia yang mencapai 10 ribu jenis. Namun, yang menjadi kunci dalam pemecahan kasus ini adalah koleksi 2.700 contoh angsa Kanada yang dimiliki museum itu, termasuk beberapa spesimen angsa yang bermigrasi dari wilayah Labrador di timur Kanada.
Para pakar burung lapangan mengirimkan bulu dan jaringan angsa Labrador ke Smithsonian. Berdasarkan contoh bulu tersebut, para ilmuwan di laboratorium melakukan tes yang menunjukkan bahwa burung penyebab kecelakaan yang menimpa pesawat US Airways adalah angsa dari tipe Labrador, bukan jenis dari New York. Angsa dari kawasan New York biasanya menghabiskan waktu sepanjang tahun di sekitar sungai dan perairan di kota tersebut.
Untuk membuktikan bahwa angsa asal Kanada yang melakukan aksi bunuh diri itu, para ilmuwan Smithsonian mengetes nilai isotop hidrogen stabil pada bulu unggas itu. Marka itu mengungkapkan di mana tumbuhnya vegetasi yang dimakan oleh angsa itu. Angsa Labrador yang bermigrasi telah menyantap rerumputan dari berbagai daerah berbeda, tetapi tidak dengan angsa yang menetap di New York, dan hal itu terlihat dalam tes.
Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Ecology and the Environment edisi 8 Juni itu memperlihatkan bahwa semua bandar udara New York kemungkinan besar harus mengembangkan dua metode berbeda untuk mencegah kecelakaan yang sama terus berulang. Sebuah metode diterapkan khusus untuk menjaga angsa migran menjauhi pesawat dan metode lain bagi burung yang bersarang di dalam kota.
"Banyak orang mengatakan 'Siapa yang peduli mengetahui jenis burungnya'," kata Carla Dove, direktur program di Laboratorium Identifikasi Bulu di Smithsonian. "Tetapi itu amat penting. Strategi untuk tiap spesies sangat berbeda. Jika Anda memiliki burung jalak atau burung nazar, Anda pasti memeliharanya dengan cara yang berbeda."
Untuk menangani burung setempat, pihak berwenang mungkin harus mengusir dan memindahkan mereka atau memodifikasi habitatnya. Sedangkan untuk mengatasi burung migran, yang hanya melintas untuk pindah ke daerah lain, dibutuhkan metode yang lebih rumit, seperti merekam pola penerbangan mereka atau menggunakan radar sensitif yang bisa mendeteksi pergerakan mereka di atas landasan.
Pejabat Kota New York mengatakan bahwa dalam beberapa pekan mendatang mereka akan menangkap dan membunuh sekitar 2.000 angsa Kanada. Perburuan akan berlangsung di puluhan lokasi yang berjarak 8 kilometer dari Bandara Kennedy dan LaGuardia.
Petugas bandara sebenarnya telah mengusir dan membunuh kawanan burung yang berada di kawasan bandara selama bertahun-tahun. Kini, tak hanya burung yang berani memasuki kawasan bandara yang akan dihabisi, tetapi juga burung yang ada di berbagai wilayah kota, termasuk 40 taman umum. Langkah ini dilakukan bertepatan dengan musim berganti bulu, ketika angsa itu tak bisa terbang.
Peran ilmuwan sebenarnya tak sebatas pada upaya mencari metode yang tepat untuk mengatasi gangguan burung di bandara, tapi juga berbagai kasus lainnya. Para ilmuwan Field Museum, misalnya, berulang kali dipanggil untuk menyumbangkan pengetahuannya dalam beragam investigasi selama bertahun-tahun.
Pihak berwenang telah meminta bantuan mereka dalam mengidentifikasi binatang yang diselundupkan ke Amerika Serikat dan bulu yang digunakan sebagai hiasan kepala yang dibawa pulang oleh para wisatawan yang tidak tahu bahwa bulu itu berasal dari burung terancam punah, kata Dave Willard, salah satu pakar burung di museum itu.
Pekerjaan detektif yang telah dilakukan Willard termasuk mencoba memperkirakan berapa banyak potongan ayam dalam makanan yang kemungkinan besar disantap oleh seorang tersangka dalam sebuah kasus pembunuhan di Chicago, yang menewaskan tujuh orang di dalam sebuah restoran.
Meski hasil perbandingan yang dilakukan Willard terhadap sisa makanan yang ditemukan di tong sampah dengan tulang ayam dalam koleksi Museum Field kurang meyakinkan, dia tetap diajukan sebagai saksi dalam sidang terdakwa Juan Luna, yang kemudian terbukti bersalah, pada 2007.
Permintaan terhadap jasa para ilmuwan Field Museum semakin menyusut dalam satu dekade terakhir karena makin banyak laboratorium dan petugas taman nasional yang dapat melakukan penyelidikan tersebut.
Sebaliknya, empat karyawan laboratorium bulu di Smithsonian justru jauh lebih sibuk daripada sebelumnya, sejak angka tabrakan pesawat dan burung meningkat pesat. Pilot dari berbagai maskapai penerbangan telah melaporkan bahwa mereka menghantam lebih dari 59.700 burung sejak 2000. Sebagian besar kecelakaan akibat birdstrike adalah jenis mourning dove (Zenaidura macroura), camar, jalak Eropa, dan elang Amerika (Falco sparverius).
Setiap pekan, puluhan bangkai burung, potongan, atau bahkan sisa tubuh binatang yang hampir membusuk dikirimkan lewat pos ke laboratorium itu. Sisa potongan tubuh burung itu dikumpulkan dari mesin pesawat yang rusak. Birdstrike yang dialami US Airways, misalnya, diakibatkan oleh burung-burung yang bobotnya rata-rata 3,6 kilogram sehingga Dove dan timnya harus memeriksa 69 kantong sisa bangkai dan bulu burung selama berbulan-bulan.
Kasus birdstrike yang harus diteliti oleh unit laboratorium bulu Smithsonian itu melonjak hingga lebih dari 4.500 pada 2008 dari sekitar 300-an kasus pada 1989. Dove mengatakan laboratoriumnya mencapai tingkat keberhasilan lebih dari 90 persen dalam mengidentifikasi burung, dan memecahkan banyak kasus dalam beberapa jam saja dengan menggunakan database DNA burung.
Namun, keberhasilan mereka mengungkap identitas burung dalam kasus US Airways tak lepas dari koleksi spesimen angsa Kanada di Field Museum. "Tanpa koleksi angsa Field, butuh waktu yang jauh lebih lama untuk mengetahui dengan pasti tipe angsa Kanada tersebut," kata Dove.
Dia mengatakan kasus US Airways memperlihatkan bahwa koleksi burung, yang sebagian besar telah dikumpulkan lebih dari satu abad yang lalu, bukan sekadar kegiatan akademik yang tak berguna. "Terkadang orang di jalanan tidak melihat bagaimana pekerjaan ini dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan mereka," ujar Dove. "Di sini, kami bisa melihat bahwa koleksi ini dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki keamanan umum dengan segera. Ini luar biasa."
TJANDRA DEWI | AP | NYTIMES | MNH