Guru Besar UI untuk Arah Revisi UU Konservasi: Jangan Asal Pemanfaatan
Reporter
Irsyan Hasyim (Kontributor)
Editor
Zacharias Wuragil
Senin, 27 Mei 2024 14:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Bidang Biologi Konservasi di Universitas Indonesia (UI), Jatna Supriatna, menyatakan sudah empat kali mengikuti rapat dengar pendapat di Gedung DPR membahas Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Beberapa catatan untuk Revisi UU Konservasi tersebut dibeberkannya berikut ini.
Pertama-tama, Jatna mengungkap harapannya agar Revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya secara langsung tidak lagi pakai definisi dan teori yang hanya diketahui akademisi. "Pengalaman saya setelah 15 tahun bekerja di lembaga internasional, saya ingin sekali UU KSDAHE nanti lebih update," kata Jatna kepada Tempo, Ahad, 26 Mei 2024.
Lalu, Jatna mengungkap bahwa Revisi UU KSDAHE ingin lebih menitikberatkan pemanfaatan dibandingkan pada UU 5/1990. Masalahnya, dia menambahkan, pengkajian konservasi keanekaragaman hayati masih belum banyak disentuh. Padahal, menurutnya, pemanfaatan sumber daya alam tidak akan berkembang tanpa adanya riset dan kajian, khususnya tentang keragaman genetik.
"Pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik harus diarahkan pada pengaturan akses pada sumber daya genetik itu dan pembagian keuntungan yang adil atas pemanfaatannya, sebagaimana diamanatkan oleh Protokol Nagoya, yang telah disahkan melalui UU Nomor 13 tahun 2011," ucapnya.
Apabila tidak memungkinkan untuk diatur secara mendetail dalam rancangan undang-undang ini, Jatna menyarankan, dapat diatur pokok-pokoknya saja. Aturan pelaksanaan kemudian dapat didorong untuk diatur dalam peraturan pemerintah, "Atau apabila tidak memungkinkan, dalam undang-undang lain."
Jatna menyebutkan pemanfaatan atau pemanenan dapat diberikan bila dapat dibuktikan bahwa populasi satwa atau tumbuhan yang menjadi obyeknya masuk kategori aman. "Biaya yang timbul untuk memantau populasi oleh ahli independen perlu dibebankan kepada
pemanen atau penerima manfaat," katanya.
Harapan berikutnya dari Jatna adalah pengarusutamaan keanekaragaman hayati yang perlu dilakukan ke dalam komitmen lokal seperti Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selain, kata Jatna, harus pula masuk ke dalam komitmen global seperti Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) maupun Sustainable Development Goals (SDGs).
Kebijakan ini harus menjadi prioritas karena Indonesia adalah negara megadiversitas di dunia. Kalau dijumlah, dia memperhitungkan, terrestrial dan marine diversity di Indonesia setara dengan Brasil yang luas daratannya 6 kali lebih luas daripada Indonesia.
"Bila saat ini dunia sudah mencanangkan zero emission dari berbagai berbagai sektor dengan mengurangi jejak karbon, beberapa tahun ke depan sudah ada pembicaraan akan adanya biodiversity footprint bukan hanya offset," tuturnya.
Nilai keanekaragaman hayati Indonesia, kata Jatna, sangat tinggi dan sudah banyak ahli ekonomi memprediksi GDP Indonesia dari pengembangan keanekaragaman hayati akan naik tajam. Sehingga, menurutnya, nilai biodiversitas akan lebih tinggi dibanding dengan sektor lain dalam investasi lahan per hektare maupun jumlah spesies per ekosistem.
"Valuasi ekosistem ini masih perlu didorong," katanya sambil menambahkan berkembangnya biodiversity offset dan biodiversity credit. "Tren global I sedang dibahas oleh pengembang dan juga pakar internasional."
Pada bagian lain, Jatna juga mendorong pemerintah daerah dapat membentuk pendanaan abadi untuk kegiatan konservasi sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat. Didorongnya pula dana seperti Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) khusus konservasi. Pengelolaannya tidak lagi di bawah Kementerian Keuangan, tapi diubah jadi Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK).
Terakhir, Jatna mengusulkan bab atau pasal lebih detail tentang penggunaan teknologi. "Karena jangan sampai monitoring kita ketinggalan padahal teknologi untuk monitoring spesies sudah berkembang sangat canggih," ucapnya.
Sebelumnya, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fahira Idris, beralasan Revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sebagai upaya penyempurnaan dan penampungan kebutuhan hukum masyarakat. Pembahasan revisi aturan konservasi alam itu menjadi satu dari 47 program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2024.
Pilihan Editor: Pesawat Singapore Airlines Korban Tubulensi Ekstrem, Ini Waktu Kejadian, Ketinggian Terbangnya, dan Kecepatan Empasan yang Dialami