18 Tahun Semburan Lumpur Lapindo, Dosen ITB Pertanyakan Reaktivasi Sesar Watukosek
Reporter
Anwar Siswadi (Kontributor)
Editor
Zacharias Wuragil
Jumat, 31 Mei 2024 08:12 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Semburan lumpur panas terjadi dari sumur eksplorasi migas milik PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006. Semburan lumpur Lapindo tak mampu dihentikan dan hingga kini telah menenggelamkan lima desa dan memberi dampak kepada belasan lainnya.
Hingga kini pula pertanyaan masih menggantung perihal di balik semburan lumpur tersebut. Di antara kemungkinan yang diangkat adalah terjadinya reaktiviasi Sesar Watukosek. Dosen yang juga Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas mengingatkan kembali soal itu mengenang 18 tahun semburan Lumpur Lapindo.
Heri mengatakan, reaktivasi atau kembali aktifnya Sesar Watukosek pernah dikaitkan dengan Gempa Yogyakarta 2006. Namun catatan Watukosek sebagai sesar yang aktif oleh pemerintah, menurut Heri, menghilang sebelum muncul kembali saat terjadi semburan lumpur Lapindo dua hari kemudian.
“Ibaratnya, sesar gempa bisa tiba-tiba muncul dan hilang begitu saja dari catatan,” ujar Ketua Riset Kebencanaan Ikatan Alumni ITB itu pada Kamis 30 Mei 2024.
Menurut Heri, ada dua hasil kajian yang kesimpulannya berbeda soal penyebab semburan lumpur Lapindo. Kajian pertama menyimpulkan penyebabnya akibat kelalaian pengeboran yang dilakukan oleh perusahaan. Ketika melakukan pengeboran, mereka tidak memasang casing sehingga menyebabkan formasi struktur bawah tanah pecah ketika ada tekanan dari lumpur beserta air bertekanan sangat tinggi.
Akhirnya, kata Heri, material lumpur dan air ke luar ke permukaan dan membanjiri areal sekitar melalui rekahan. “Ketika pengeboran menjadi penyebab semburan lumpur panas Lapindo, maka ini bukan bencana alam melainkan ulah manusia,” ujarnya.
Adapun kajian kedua menyimpulkan semburan lumpur diakibatkan oleh alam, yaitu gempa Yogyakarta yang mereaktivasi Sesar Watukosek. Pemerintah akhirnya memutuskan semburan lumpur Lapindo adalah akibat bencana alam sehingga pemerintah yang bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi. Setelah itu menurut Heri, Sesar Watukosek tidak lagi tercatat sebagai sesar aktif.
"Menolak lupa lumpur Lapindo tidak bertujuan menggali luka lama, melainkan sebagai pelajaran tentang kebencanaan yang harus berdasarkan data dan informasi jelas," kata Heri.
Semburan lumpur Lapindo tidak hanya menenggelamkan desa-desa, namun juga jalan tol Porong, merusak jalur kereta api, pipa air, gas, serta beberapa fasilitas infrastruktur lainnya. Bahkan semburan lumpur Lapindo telah menewaskan 18 orang akibat pipa gas yang meledak karena tertekan lumpur.
“Semburan lumpur Lapindo adalah fakta bencana yang telah memberikan kerugian materi kurang lebih Rp 38 triliun pada masa itu,” ujarnya.
Pilihan Editor: Begini Isi Perpres Percepatan Industri Game Lokal, AGI Tagih Realisasinya