Masyarakat Sipil dan Adat Tolak Pengesahan RUU KSDAHE pada 11 Juli

Kamis, 27 Juni 2024 10:48 WIB

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya saat mengikuti rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 13 Juni 2024. Dalam rapat tersebut Pemerintah, Komisi IV DPR RI, dan Komite II DPD RI menyepakati naskah RUU KSDAHE untuk dilanjutkan pembicaraan di rapat paripurna DPR RI. TEMPO/M Taufan Rengganis

TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat sipil pembela HAM dan masyarakat adat menyampaikan surat terbuka kepada Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) setelah delapan tahun lebih rancangan itu keluar masuk program legislasi nasional.

Sejak Januari lalu masyarakat sipil telah menyampaikan masukan substansi RUU KSDAHE dalam bentuk policy brief dan daftar inventarisasi masalah (DIM). Perwakilan Badan Registrasi Wilayah Adat, Cindy Julianty, mengatakan hingga draft terakhir yang diterima pada Desember 2023, tidak ada perubahan positif secara materil maupun formil dari proses legislasi RUU KSDAHE.

Menurut Cindy, pembahasan belum mengakomodir partisipasi publik. Ia menyebutkan DPR malah ingin segera mengesahkan RUU tersebut pada 11 Juli 2024. “Ada tiga alasan mengapa kami menolak pengesahan dan mendesak penundaan RUU KSDAHE, dan menuntut agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan RUU KSDAHE," ujar Cindy kepada Tempo, Kamis, 27 Juli 2024.

Pertama, ujarnya, proses legislasi RUU KSDAHE tidak transparan dan partisipatif (meaningfully participated) terutama dalam perumusan pasal–pasal. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dokumen pada situs web (dpr.go.id) terkait pembahasan legislasi.

Kedua, tidak diakomodirnya usulan masyarakat sipil terkait aspek partisipasi masyarakat, perlindungan dan pengakuan hak–hak masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Advertising
Advertising

Ketiga, masyarakat sipil menemukan pasal-pasal yang bermasalah, dan membuka peluang lebih banyak terjadinya potensi kriminalisasi, diskriminasi, pengabaian hak terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup didalam dan sekitar kawasan konservasi.

Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala, mengatakan RUU KSDAHE menggunakan pendekatan represif untuk memastikan supaya kegiatan konservasi berjalan. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk sanksi dan pemidanaan yang lebih berorientasi pada pidana penjara.

"Padahal pidana koservasi memiliki motif ekonomi, sehingga seharusnya lebih menekankan sanksi denda dan perampasan asset. Sanksi pidana ini juga bukan ditujukan untuk korporasi melainkan perorangan, sehingga membuka lebih banyak potensi kriminalisasi," kata Satrio kepada Tempo, Kamis.

Lebih lanjut, Satrio menilai RUU KSDAHE memiliki paradigma konservasi yang cenderung melihat
masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai ancaman, bukan sebagai mitra yang berkontribusi
dalam pengelolaan konservasi. Alhasil pendekatan yang dilakukan negara justru kembali memunculkan konflik dan mengeksklusi masyarakat dari ruang hidupnya.

Kritik lain disampaikan Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Moehammad Arman. Dia menyebutkan cara menghadapi persoalan penyelenggaraan konservasi hari ini yang tidak berbasis pada hak asasi manusia dan abai terhadap hak Masyarakat adat.

Berdasarkan pemantauan AMAN, menurut Arman, RUU KSDAHE juga tidak mengubah status quo, artinya tidak ada perubahan positif. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya partisipasi berarti dan persetujuan atas dasar tanpa paksaan di awal (Padiatapa) dalam penetapan kawasan konservasi.

"Kita tahu banyak dari kasus kriminalisasi terjadi akibat negara tidak memperhatikan aspek ini. Misalnya kasus di Colol, NTT, yang dikenal dengan 'Rabu Berdarah' yang menyebabkan enam orang tewas, 28 orang luka-luka dan tiga orang di antaranya cacat permanen, sehingga menjadi kekeliruan jika RUU tidak mengatur aspek hak dan partisipasi," kata Arman.

Menurut dia, aspek mendesak masuknya hak masyarakat adat karena ada 75 persen wilayah adat masuk ke dalam kawasan hutan di mana 1,6 juta hektare wilayah yang masuk dalam konservasi memiliki populasi sekitar 2,9 juta orang.

"RUU ini juga memiliki pasal bermasalah terkait dengan Areal Preservasi (Pasal 8) yang tidak jelas dan tidak menjawab tuntutan untuk mengakui aktor konservasi lain di luar negara," ungkapnya.

Pilihan Editor: Masih Ada PPDB Tahap Lanjutan di Jakarta, Siapa yang Bisa dan Tidak Bisa Mendaftar?

Berita terkait

Marak Perburuan Badak Jawa, Pakar dari Itera Tekankan Pentingnya Teknologi untuk Konservasi

9 jam lalu

Marak Perburuan Badak Jawa, Pakar dari Itera Tekankan Pentingnya Teknologi untuk Konservasi

Berbagai pendekatan teknologi sangat mutlak dibutuhkan dalam upaya pengelolaan badak jawa.

Baca Selengkapnya

RUU dan RPP Terkait Energi Dinilai Tidak Mengakomodir Transisi Energi Berkeadilan

11 jam lalu

RUU dan RPP Terkait Energi Dinilai Tidak Mengakomodir Transisi Energi Berkeadilan

Sejumlah organisasi masyarakat sipil berpendapat, seharusnya RUU EBET benar-benar fokus pada akselerasi dan meningkatkan daya saing energi terbarukan.

Baca Selengkapnya

Polisi Malaysia Interogasi Aktivis Pembela Suku Bajo yang Rumahnya Dibakar Pemerintah

3 hari lalu

Polisi Malaysia Interogasi Aktivis Pembela Suku Bajo yang Rumahnya Dibakar Pemerintah

Polisi Sabah di Malaysia menangkap dan menginterogasi seorang aktivis yang membela Suku Bajo, yang diusir dan rumahnya dibakar oleh otoritas setempat.

Baca Selengkapnya

KKP Beri Bantuan Kepada Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi

11 hari lalu

KKP Beri Bantuan Kepada Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi

Penyerahan bantuan pemerintah bidang konservasi ditargetkan kepada 20 KOMPAK yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia

Baca Selengkapnya

Reforma Agraria Summit 2024, BPN Klaim Prioritaskan Masyarakat Adat

16 hari lalu

Reforma Agraria Summit 2024, BPN Klaim Prioritaskan Masyarakat Adat

Direktur Pemberdayaan Tanah Kementerian ATR/BPN Dwi Budi Martono mengklaim pemerintah memprioritaskan masyarakat adat dalam reforma agraria.

Baca Selengkapnya

Pemerintah-DPR Sepakati Naskah RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, Ada Penguatan Sanksi

17 hari lalu

Pemerintah-DPR Sepakati Naskah RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, Ada Penguatan Sanksi

Pemerintah, DPR dan DPD menyepakati naskah RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Baca Selengkapnya

Pagar Kejut Ilegal Tewaskan Gajah Sumatera, Chicco Jerikho Minta Pemerintah Tangani Serius

21 hari lalu

Pagar Kejut Ilegal Tewaskan Gajah Sumatera, Chicco Jerikho Minta Pemerintah Tangani Serius

Chicco Jerikho meminta pemerintah untuk mengambil tindakan serius dalam menangani kasus pemasangan pagar kejut ilegal

Baca Selengkapnya

AMAN: Langkah Jokowi Bagi-bagi Izin Tambang untuk Ormas Berpotensi Meningkatkan Konflik Horizontal

22 hari lalu

AMAN: Langkah Jokowi Bagi-bagi Izin Tambang untuk Ormas Berpotensi Meningkatkan Konflik Horizontal

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai langkah Presiden Jokowi bagi-bagi izin tambang untuk Ormas keagamaan meningkatkan konflik horizontal.

Baca Selengkapnya

AMAN Sorong Raya Papua Minta Pemerintah Percepat Pengukuhan Wilayah Masyarakat Adat

22 hari lalu

AMAN Sorong Raya Papua Minta Pemerintah Percepat Pengukuhan Wilayah Masyarakat Adat

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya mencatat beberapa kasus pelanggaran hak masyarakat adat yang dilakukan oleh korporasi di Papua.

Baca Selengkapnya

Cerita Hendrikus Woro di Tengah Viral All Eyes on Papua, Tamatan SD yang Melawan Raksasa Sawit

23 hari lalu

Cerita Hendrikus Woro di Tengah Viral All Eyes on Papua, Tamatan SD yang Melawan Raksasa Sawit

Hendrikus Woro memimpin perlawanan masyarakat adat Suku Awyu terhadap ekspansi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan.

Baca Selengkapnya