Soal Pembangunan PLTN, Greenpeace Ingatkan Risiko, Kesiapan SDM dan Teknologinya
Reporter
Alif Ilham Fajriadi
Editor
Abdul Manan
Jumat, 23 Agustus 2024 13:36 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) perdana pada 2032 mendatang. Greenpeace Indonesia mengingatkan risiko PLTN terhadap masyarakat, termasuk kasus ledakannya di masa lalu, yang itu masih menjadi momok untuk pengembangannya di Indonesia.
"Pemerintah melindungi data saja mengalami kegagalan terus-menerus. Apalagi membangun sebuah PLTN yang membutuhkan teknologi, mentalitas dan disiplin yang tinggi dalam menjaga keamanannya," kata juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Didit Wicaksono, saat dihubungi Tempo Rabu, 21 Agustus 2024.
Didit bukan tidak ingin Indonesia menjadi negara maju serta bersaing dalam pengembangan teknologinya. Namun untuk saat ini dia masih skeptis soal kemampuan pemerintah Indonesia dalam menjaga PLTN tetap aman digunakan.
Jika dalih pembangunan PLTN untuk ketahanan energi nasional, menurut Didit, masih banyak alternatif lain yang bisa dikembangkan oleh pemerintah. Mulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) maupun energi terbarukan lainnya.
"Waktu untuk pembangunan nuklir pun lama. Rata-rata menghabiskan waktu 190 bulan atau 15 tahun. Sedangkan kalau untuk mengejar ketertinggalan dan kecukupan energi, mending dibangun PLTS yang paling lama pembangunannya sekitar dua tahun saja," ujar Didit.
Didit juga melihat potensi pemanfaatan energi angin di wilayah Indonesia bagian timur yang cukup kuat dan berpotensi menjadi sumber energi terbarukan. Pemanfaatan energi angin di sana juga cocok dielaborasi, supaya energi terbarukan yang dihasilkan menjadi lebih banyak.
"Jadi sebenarnya banyak banget potensi yang bisa kita manfaatkan. Makanya saya berpikir, sebanyak itu alternatif energi yang potensial digunakan, kenapa harus berpikir membangun PLTN juga, yang jelas-jelas risiko dan bahayanya lebih tinggi ketimbang energi terbarukan lainnya," kata Didit.
Hadirnya PLTN, kata Didit, juga dapat menambah catatan konflik ruang dan lahan baru di tengah masyarakat. Sebab PLTN diduga bakal menggerus lahan di wilayah baru untuk penambangan bahan bakar nuklir seperti uranium dan thorium.
BRIN Mengklaim SDM dan Teknologi Indonesia Memadai
Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Syaiful, mengatakan, pembangunan PLTN bisa dilakukan dengan sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki Indonesia. Periset nuklir di Indonesia sudah berkompeten dalam studi nuklir.
Menurut Syaiful, BRIN saat ini mengelola tiga reaktor nuklir untuk skala riset, yaitu Bandung, Serpong dan Yogyakarta. Walau untuk skala riset, reaktor nuklir itu sudah dimanfaatkan kegunaannya sebagai penunjang industri medis berbasis radioisotop.
Radioisotop, kata Syaiful, dipakai untuk mendiagnosis kanker pada tahap awal sebelum gejala muncul. Termasuk mengidentifikasi jenis kankernya. Radioisotop juga digunakan untuk pencitraan organ dalam yang tidak dapat dilihat dengan mesin x-ray. "Reaktor nuklir saat ini di BRIN juga sudah digunakan untuk bidang kesehatan juga."
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, juga menyatakan kesiapannya menjadikan BRIN sebagai badan pelaksana jika Rancangan Undang Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) disahkan DPR. BRIN mempunyai teknologi dan para pakar yang ahli dalam memanfaatkan nuklir.
Pilihan Editor: Maraknya Tagar #KawalPutusanMK dan Apa Itu Aktivisme di Media Sosial