Menyiasati Pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca

Reporter

Editor

Senin, 17 Mei 2010 11:23 WIB

Pesawat NOAA untuk mengukur emisi gas-gas rumah kaca
TEMPO Interaktif, Jakarta - Tiga pesawat terbang milik National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) hilir mudik di atas negara bagian California. Bukan aksi unjuk pamer yang mereka lakukan, melainkan mengukur gas-gas rumah kaca di wilayah yang dipimpin Gubernur Arnold Schwarzenegger itu.

Memang, sejak awal Mei hingga Juli, California menjadi taman bermain raksasa bagi 200 ahli atmosfer. Para ilmuwan mencatat data yang dihasilkan tiga pesawat NOAA yang membelah langit di atas kawasan industri, daerah pertanian, dan wilayah kota lainnya. Sebagian di antara mereka berada di dua stasiun cuaca dan lainnya di dalam mobil keliling yang dilengkapi peralatan canggih untuk mendapatkan hasil sampel.

Proyek penelitian CalNex ini diselenggarakan California Air Resources Board dan NOAA, yang bermarkas di Boulder, Colorado. Para ilmuwan berencana mempelajari berbagai masalah yang berhubungan dengan kualitas udara dan pemanasan global. Namun salah satu tujuan utamanya adalah mendapatkan data dan metode untuk mengatasi ketidakpastian dalam pencatatan emisi gas-gas rumah kaca.

Persoalan ini jadi isu global, tidak hanya untuk negara bagian California. Maklum, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mewajibkan setiap pihak atau negara melaporkan emisi gas rumah kaca setiap tahunnya. Komunitas global juga sepakat untuk mengurangi emisi sampai 80 persen.

Namun angka-angka yang dilaporkan ke UNFCCC meragukan. Penaksir independen memperkirakan jumlah yang dilaporkan cuma 50 persen. Alhasil, jika perjanjian iklim punya kredibilitas tinggi, ilmuwan dan pemerintah harus mengembangkan sistem yang andal untuk memverifikasi emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.

"Banyak negara cenderung melaporkan hal-hal yang terlihat bagus dan tidak ada yang dapat membuktikan bahwa itu salah, kecuali kita meneliti atmosfer mereka," kata Ingeborg Levin, fisikawan atmosfer dari University of Heidelberg di Jerman.

Levin adalah salah satu dari sejumlah ilmuwan yang mengembangkan jaringan sampel udara (<I>air-sampling network<I>), model komputer, dan satelit untuk menelaah asal-usul serta jumlah emisi gas rumah kaca. Dia melihat program CalNex California sebagai model yang menarik. Pemerintah, katanya, harus bekerja dengan ilmuwan untuk mengurangi ketidakpastian dan mendapatkan data akurat dalam persediaan emisi mereka. Langkah ini harus menjadi upaya terpadu antara orang yang melakukan simpanan stok (<I>inventories<I>) dan masyarakat yang melakukan pengukuran. Dengan mengetahui simpanan, dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di negara sumber emisi.

Pada Maret lalu, US National Research Council (NRC) mengajak negara-negara industri mengetahui simpanan stok dan bersama-sama melakukan pemantauan. Lembaga ini memperkirakan biaya yang dibutuhkan hanya US$ 11 juta selama lima tahun untuk meningkatkan sistem pelaporan gas rumah kaca pada 10 negara- negara berkembang terbesar yang tidak diwajibkan melaporkan emisinya. Copenhagen Accord 2009 memang menyepakati sistem MRV (<I>measurement, reporting, and verification<I>), namun negosiasi masih dilakukan tentang struktur sistem verifikasi.

Memang sebagian besar fokus saat ini pada emisi bahan bakar fosil, yang jumlahnya lebih dari separuh volume gas-gas rumah kaca global. Emisi karbon dioksida ini paling mudah dihitung, misalnya dari konsumsi bahan bakar suatu negara. Di negara-negara maju, statistik data tersebut dapat diandalkan meskipun masih ada masalah dalam hal aspek perawatan. Sebaliknya, di negara berkembang, data konsumsi bahan bakar fosilnya meragukan.

"Kami membuat dompet sutra dengan menabur 'telinga'," kata Gregg Marland, ilmuwan Departemen Energi pada Carbon Dioxide Information Analysis Center (CDIAC) di Oak Ridge, Tennessee. Bukan apa-apa, perbedaan 5-10 persen menjadi signifikan karena banyak negara yang berusaha mengurangi emisi mereka dengan besaran serupa dalam beberapa tahun berikutnya.

Berdasarkan data dari PBB, CDIAC memperkirakan emisi karbon dioksida global pada 2006 sebesar 30.200.000.000 ton. Ini tidak termasuk perubahan dari alih guna lahan. Memang Marland mengatakan ketidakpastian data itu 6-10 persen. Dalam upaya meningkatkan akurasi, ilmuwan mendesak pemerintah memperluas pemantauan jaringan. NOAA saat ini jadi koordinator jaringan 150 stasiun pemantauan gas rumah kaca di seluruh dunia.

Pada 1957, Charles Keeling merupakan orang pertama yang melakukan pengukuran karbon dioksida di atmosfer. Dia mengukur pada November 1957 di Mauna Loa Observatory di Hawaii. Lokasi itu sengaja dipilih karena udara masih bersih dari polusi. Alhasil, banyak stasiun didirikan di luar kota. Kini kecenderungannya berlawanan, stasiun didirikan di tengah kota, dekat lokasi industri dan daerah pertanian.

Di Eropa, para ilmuwan mendorong Integrated Carbon Observation System (ICOS), yang mentargetkan adanya konversi 50 stasiun pemantauan independen pada 2014. Mereka juga akan menambah 20 stasiun lainnya untuk memberi resolusi yang lebih baik di daerah kunci. Proyek ICOS ini akan menelan biaya US$ 200-266 juta.

Pada proyek CalNex, pesawat NOAA mengambil sampel di atas industri kilang minyak, pembangkit listrik, dan lahan pertanian. Di Los Angeles, target mereka adalah gas metana karena negara bagian California sebelumnya membangun persediaan gas menggunakan standar yang direkomendasikan Intergovernmental Panel on Climate Change. Ternyata studi terbaru menunjukkan bahwa emisi yang sebenarnya terjadi adalah sepertiga lebih tinggi dari yang diperkirakan.


UNTUNG WIDYANTO [NATURE.COM]

Berita terkait

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

16 jam lalu

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

Salah satu Rukun Tetangga (RT) di wilayah Jakarta Timur kini tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Baca Selengkapnya

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

11 hari lalu

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

Dubai terdampak badai yang langka terjadi di wilayahnya pada Selasa lalu, 16 April 2024.

Baca Selengkapnya

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

15 hari lalu

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

Maret 2024 melanjutkan rekor iklim untuk suhu udara dan suhu permukaan laut tertinggi dibandingkan bulan-bulan Maret sebelumnya.

Baca Selengkapnya

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

33 hari lalu

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

Fenomena penguapan air dari tanah akan menggerus sumber daya air di masyarakat. Rawan terjadi saat kemarau.

Baca Selengkapnya

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

40 hari lalu

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

AMAN mengidentifikasi belasan masyarakat adat di IKN Nusantara dan sekitarnya. Mereka terancam rencana investasi proyek IKN dan dampak krisis iklim.

Baca Selengkapnya

13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

40 hari lalu

13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

Studi hujan salju di masa depan mengungkap ladang ski dipaksa naik ke dataran lebih tinggi dan terpencil. Ekosistem pegunungan semakin terancam.

Baca Selengkapnya

Studi Terbaru: IKN Nusantara dan Wilayah Lain di Kalimantan Terancam Kekeringan Ekstrem pada 2050

41 hari lalu

Studi Terbaru: IKN Nusantara dan Wilayah Lain di Kalimantan Terancam Kekeringan Ekstrem pada 2050

Kajian peneliti BRIN menunjukkan potensi kekeringan esktrem di IKN Nusantara dan wilayah lainnya di Kalimantan pada 2033-2050. Dipicu perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Suhu Udara Global: Bumi Baru Saja Melalui Februari yang Terpanas

49 hari lalu

Suhu Udara Global: Bumi Baru Saja Melalui Februari yang Terpanas

Rekor bulan terpanas kesembilan berturut-turut sejak Juli lalu. Pertengahan tahun ini diprediksi La Nina akan hadir. Suhu udara langsung mendingin?

Baca Selengkapnya

Benarkah Pemanasan Global Sudah Tembus Batas 1,5 Derajat Celsius?

12 Februari 2024

Benarkah Pemanasan Global Sudah Tembus Batas 1,5 Derajat Celsius?

Januari 2024 lalu adalah rekor baru pemanasan global untuk suhu rata-rata bulanan.

Baca Selengkapnya

Cuaca Ekstrem Bukan Fenomena Alam Biasa, Peneliti BRIN Usul Dibentuk Komite Khusus

2 Februari 2024

Cuaca Ekstrem Bukan Fenomena Alam Biasa, Peneliti BRIN Usul Dibentuk Komite Khusus

Cuaca ekstrem harus dilihat dalam perspektif perubahan iklim global.

Baca Selengkapnya