Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Cuaca Ekstrem Bukan Fenomena Alam Biasa, Peneliti BRIN Usul Dibentuk Komite Khusus

image-gnews
Sejumlah petugas memotong pohon yang tumbang menimpa salah satu rumah karena diterjang gelombang kencang akibat badai Siklon tropis Seroja di Kota Kupang, NTT, Kamis, 8 April 2021. ANTARA/Kornelis Kaha
Sejumlah petugas memotong pohon yang tumbang menimpa salah satu rumah karena diterjang gelombang kencang akibat badai Siklon tropis Seroja di Kota Kupang, NTT, Kamis, 8 April 2021. ANTARA/Kornelis Kaha
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Cuaca ekstrem tidak bisa dipandang sebagai fenomena alam biasa, sebab pemanasan global saat ini sudah mencapai fase mendidih atau global boiling, dan berdampak pada kondisi iklim serta cuaca global yang tidak stabil. Salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi risiko bahayanya, dengan pembentukan Komite Cuaca Ekstrem.

"Cuaca ekstrem harus dilihat dalam perspektif perubahan iklim global, sebab sudah terjadi eskalasi, dan permasalahan ini dibahas pula oleh World Economic Forum sebagai ancaman nomor satu merusak perekonomian negara," kata Peneliti Klimatologi di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi (BRIN), Erma Yulihastin, saat dihubungi, Jumat, 2 Februari 2024.

Erma menegaskan bahwa kondisi iklim dan cuaca ekstrem yang berpeluang membahayakan wilayah Indonesia, tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurut Erma kondisi global saat ini sedang tidak normal dan membuat fenomena alam menjadi tidak alamiah lagi.

"Ekstremitasnya sudah mengalami eskalasi dan harus direspons nih, kalau sebelumnya pendekatan kita hanya pendekatan single atau fenomena tunggal, maka kini harus diubah," ucap Erma. Salah satu cara mengubahnya digambarkan Erma dengan membentuk Komite Cuaca Ekstrem. Dengan komite itu, efektivitas dan koordinasinya dinilai lebih maksimal.

Kendati di Indonesia sudah ada lembaga yang menangani masalah cuaca ekstrem seperti BMKG, mitigasi dan edukasinya masih terlalu minim dan bahkan masyarakat masih menganggap kalau cuaca ekstrem adalah hal yang biasa.

Kondisi lain yang disayangkan Erma adalah perbedaan merespons gempa dibanding cuaca ekstrem di Indonesia. Ia menilai kalau cuaca ekstrem sangat jarang dibahas di sekolah-sekolah, jadi membuat masyarakat abai akan bahayanya yang begitu besar.

Cuaca ekstrem yang pernah terjadi dan menyebabkan ratusan korban meninggal dunia, dapat dilihat saat munculnya Siklon Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021 silam. Badai Seroja menyebabkan angin kencang, tanah longsor, dan banjir bandang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Cuaca ekstrem ini berbahaya, tapi awareness kita itu yang masih kurang. Makanya harus ada terobosan dan gagasan yang mumpuni untuk cuaca ekstrem ini," ujar Erma, sembari mempertegas bahwa Komite Cuaca Ekstrem adalah rekomendasi paling masuk akal.

Bila sudah terbentuk Komite Cuaca Ekstrem, Erma menilai pembahasan soal cuaca ekstrem bisa sangat mudah dilakukan, karena koordinasikan dan tugas pokoknya sudah jelas. "Kalau sekarang kan belum, adapun semisal prediksi yang disampaikan BMKG, hanya tersampaikan ke beberapa masyarakat dan belum maksimal," kata Erma. Kondisi ini ditambahkan Erma akibat masyarakat yang sejak lama tidak mendapat edukasi khusus perihal cuaca esktrem, tidak seperti penanganan bencana gempa.

Lebih lanjut, Erma menegaskan lagi bahwa komite cuaca ekstrem yang diharapkannya ini bukan bersifat terpusat di nasional saja. Kalau hanya berada di nasional, menurutnya, sama saja dengan lembaga dan kementerian yang kini sudah terbentuk. Erma menginginkan ada komite yang memang totalitas, khusus membahas dan mengedukasi perihal dampak cuaca ekstrem ini.

"Jadi gak harus terpusat di nasional, yang jelas kerjanya harus terkoordinasi. Mulai dari yang kecil juga bisa, semisal tingkat lokal. Mana tau daerah yang rawan cuaca ekstrem bisa mulai lebih dahulu, nanti akan dicontoh juga oleh banyak daerah lainnya," ucap Erma.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Temuan Peneliti MIT Mengklaim AI Telah Mempelajari Cara Menipu Manusia

16 jam lalu

Ilustrasi kecerdasan buatan atau AI. Dok. Shutterstock
Temuan Peneliti MIT Mengklaim AI Telah Mempelajari Cara Menipu Manusia

Kemampuan sistem AI ini dapat melakukan hal-hal seperti membodohi pemain game online atau melewati captcha.


Badai Geomagnetik Picu Gangguan Sinyal di Indonesia dan Dunia, Begini Kata Peneliti BRIN

18 jam lalu

Badai matahari dikabarkan akan menghantam bumi pada akhir tahun 2023? Kenali apa itu badai matahari di artikel ini. Foto: Canva
Badai Geomagnetik Picu Gangguan Sinyal di Indonesia dan Dunia, Begini Kata Peneliti BRIN

Ilmuwan NOAA mendeteksi badai geomagnetik terbaru yang terjadi pada 11 Maret 2024 dan dampaknya diperkirakan berlanjut hingga Mei ini.


DBD Masalah Kesehatan Dunia, BRIN Temukan Metode Pengendalian

21 jam lalu

Petugas melakukan fogging atau pengasapan untuk mencegah penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu 9 Maret 2024. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat mencatat sejak Januari 2024 hingga Maret 2024 jumlah kasus penyakit DBD sebanyak 7.654 kasus dengan angka kematian mencapai 71 kasus. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
DBD Masalah Kesehatan Dunia, BRIN Temukan Metode Pengendalian

Demam berdarah dengue (DBD) menjadi masalah bagi negara-negara tropis di dunia. Acapkali dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti.


Hutan Mangrove Lebih Efektif Menyerap Emisi Karbon, Ini Penjelasannya

23 jam lalu

Warga berwisata ke Tower Mangrove di tengah hutan mangrove Kuala Langsa di Kota Langsa, Aceh, Minggu, 25 Februari 2024. Tower setinggi 45 meter itu menjadi landmark wisata baru Kota Langsa dengan daya tarik ekowisata, konservasi dan penelitian di hutang mangrove seluas 8.000 hektare tersebut. ANTARA/Khalis Surry
Hutan Mangrove Lebih Efektif Menyerap Emisi Karbon, Ini Penjelasannya

Hutan mangrove memiliki segudang manfaat terutama efektif menyerap emisi karbon. Begini penjelasannya .


Seberapa Ekstrem Dampak Badai Matahari Pekan Ini? Simak Penjelasan Peneliti Antariksa BRIN

1 hari lalu

Memprediksi Badai Matahari dalam 24 Jam
Seberapa Ekstrem Dampak Badai Matahari Pekan Ini? Simak Penjelasan Peneliti Antariksa BRIN

Badai matahari memicu paparan elektromagnetik yang mempengaruhi sejumlah alat komunikasi dan navigasi di bumi. Fenomena langka dari siklus surya.


Ekspedisi Jalur Sesar Baribis, BPBD Jabar Sosialisasi Bahaya Gempa

1 hari lalu

Pemetaan secara geologis Sesar gempa Baribis dari Serang di Banten sampai Purwakarta di Jawa Barat melintasi wilayah selatan Jakarta. (ANTARA/HO-BNPB)
Ekspedisi Jalur Sesar Baribis, BPBD Jabar Sosialisasi Bahaya Gempa

Ekspedisi Sesar Baribis akan tersebar ke beberapa titik untuk sosialisasi dan upaya mitigasi bahaya gempa.


Potensi Gempa Sesar Lembang, Peneliti BRIN Sebut Tingkat Ancaman Besar Karena Dangkal

2 hari lalu

BNPB memasang rambu peringatan  keberadaan sesar atau patahan di lokasi  Sesar Lembang, utara Bandung, Jumat, 26 April 2019. (Tempo/Anwar Siswadi)
Potensi Gempa Sesar Lembang, Peneliti BRIN Sebut Tingkat Ancaman Besar Karena Dangkal

Sampai kedalaman 4,5 meter tanah ditemukan empat kejadian gempa yang berkaitan dengan Sesar Lembang


Pemugaran Situs Candi di Jambi Ungkap 5 Lapisan Tanah Purba, Kota Besar yang Runtuh oleh Banjir?

2 hari lalu

Komplek Situs Candi Muarojambi. TEMPO/Zulkarnain
Pemugaran Situs Candi di Jambi Ungkap 5 Lapisan Tanah Purba, Kota Besar yang Runtuh oleh Banjir?

Pemugaran situs Candi Parit Duku di Jambi mengungkap lima lapisan tanah purba atau lapisan budaya dalam istilah arkeologi.


BMKG: 14 Daerah Berstatus Waspada Dampak Cuaca Ekstrem Akibat Bibit Siklon Tropis

3 hari lalu

Petugas Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memeriksa alat Actinograph untuk mengukur intensitas radiasi matahari di Taman Alat Cuaca BMKG Jakarta, Rabu, 11 Oktober 2023. BMKG memprediksi musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia akan berlangsung hingga akhir Oktober dan awal musim hujan terjadi pada awal November 2023. Tempo/Tony Hartawan
BMKG: 14 Daerah Berstatus Waspada Dampak Cuaca Ekstrem Akibat Bibit Siklon Tropis

BMKG menyebut 14 daerah berstatus waspada dampak cuaca ekstrem sebagai akibat dari intervensi bibit siklon tropis.


Harga Jual Maksimal Rp 1 Juta, Meteran Air Sistem Token Ala Telkom University Siap Menyaingi Produk Swasta

3 hari lalu

Tim peneliti di Telkom University Bandung mengembangkan meteran air dengan sistem token. Gambar atas menunjukkan komponen di bagian dalam alat (Dok. Tim)
Harga Jual Maksimal Rp 1 Juta, Meteran Air Sistem Token Ala Telkom University Siap Menyaingi Produk Swasta

Alat dan perangkat lunak meteran air bersistem token yang dikembangkan Telkom University direncanakan masuk ke pasaran.