Tikaman Maut Burung Teror  

Reporter

Editor

Selasa, 14 September 2010 10:51 WIB

Hasil simulasi perilaku makan andalgalornis, tekanan yang lebih rendah (biru), tekanan lebih tinggi (merah).
TEMPO Interaktif, Arlington - Andalgalornis memang tidak bisa terbang, meski begitu burung purba ini memiliki strategi berburu yang tak kalah dengan seekor elang. Bak petinju legendaris Muhammad Ali, andalgalornis menggunakan paruh bengkoknya yang mirip cucuk elang untuk membunuh mangsanya.

Binatang yang dapat bergerak lincah dan cepat ini berulang kali menyerang dan mundur, menghunjamkan paruhnya yang setajam kapak untuk melumpuhkan dan membunuh mangsanya. Hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal PloS ONE, Agustus lalu, menggunakan pemodelan komputer untuk merekonstruksi kemampuan mematikan predator prasejarah tersebut.

Laporan tersebut adalah studi pertama yang mengupas secara detail gaya memangsa anggota kelompok burung besar dan tak bisa terbang, phorusrhacids, atau lebih populer dengan nama burung teror karena tengkoraknya yang mengerikan dan berperawakan besar.

Burung teror berevolusi sekitar 60 juta tahun lalu di kawasan yang terisolasi di Amerika Selatan hingga beberapa juta tahun terakhir. Dari kawasan itu, burung teror berkembang menjadi 18 spesies yang ukurannya bervariasi hingga 2,1 meter.

William Zamer, Direktur Pelaksana Divisi Sistem Organisme Integratif National Science Foundation (NSF), penyandang dana riset itu, menyatakan bahwa kebiasaan dan kehidupan binatang tersebut selama ini masih menjadi misteri karena tidak adanya kerabat atau burung modern yang menyerupai burung teror. Kini sebuah tim ilmuwan dari sejumlah negara berhasil mengungkap bentuk, fungsi, maupun perilaku pemangsa burung tersebut. Mereka menggunakan pemindaian dengan CT-scan dan metode teknik canggih.

"Tak ada yang pernah mencoba melakukan analisis biomekanik komprehensif seperti ini terhadap burung teror," kata Federico Degrange dari Museo de La Plata/CONICET di Argentina, peneliti utama studi itu. "Kami harus mengetahui peran ekologi yang dimainkan oleh burung itu bila ingin memahami bagaimana ekosistem ganjil di Amerika Selatan berkembang selama 60 juta tahun terakhir."

Burung teror yang diteliti oleh tim tersebut adalah andalgalornis, burung phorusrhacids yang hidup di barat laut Argentina sekitar enam juta tahun lampau. Andalgalornis adalah burung teror berukuran sedang, setinggi 1,4 meter dan beratnya 40 kilogram. Seperti burung teror lainnya, tengkorak andalgalornis lumayan besar, 37 sentimeter, dengan paruh sempit dan dalam yang berujung bengkok seperti paruh elang.

Pemindaian tengkorak utuh andalgalornis menggunakan CT-scan yang dilakukan Lawrence Witmer, peneliti dari College of Osteopathic Medicine, Ohio University, mengungkap arsitektur bagian dalam tengkorak. Hasil pemindaian menunjukkan bahwa andalgalornis berbeda dengan burung kebanyakan karena memiliki tengkorak yang amat padat.

"Umumnya, burung mempunyai tengkorak dengan banyak bagian antartulang yang dapat bergerak, sehingga membentuk tengkorak yang kuat tapi ringan," kata Witmer. "Tapi pada andalgalornis, sendi mobile berubah menjadi sambungan yang kaku. Burung ini memang mempunyai tengkorak yang kuat, terutama depan ke belakang, sekalipun memiliki paruh yang anehnya kosong di bagian tengah."

Evolusi senjata paruh keras yang besar dan kuat ini ada kemungkinan berkaitan dengan menurunnya kemampuan terbang burung teror, begitu pula dengan ukuran tubuhnya yang amat besar.

Dari hasil CT-scan, Stephen Wroe, Direktur Computational Biomechanics Research Group di University of New South Wales, Australia, merakit model tiga dimensi dari burung teror dan dua spesies burung modern sebagai pembanding, yaitu seekor elang dan seriema, kerabat hidup terdekat andalgalornis.

Menggunakan komputer dan peranti lunak yang disuplai oleh Wroe, Degrange dan Karen Moreno dari Universitas Paul Sabatier di Toulouse, Prancis, mengaplikasikan pendekatan analisis elemen terbatas untuk melakukan simulasi dan membandingkan biomekanika gigitan mematikan, tarikan ke belakang dengan lehernya, serta mengguncang tengkorak dari satu sisi ke sisi lain.

Citra warna yang dihasilkan dalam program itu memperlihatkan daerah biru-dingin yang menunjukkan tekanan rendah dan daerah putih-panas yang berarti tekanannya sangat tinggi serta berbahaya. Simulasi itu mendukung hasil analisis anatomi berbasis CT-scan.

"Dibandingkan dengan burung lain, burung teror beradaptasi dengan baik untuk menggerakkan paruhnya menikam mangsa dan menarik ke belakang dengan ujung paruhnya yang bengkok," kata Wroe, "tetapi ketika menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tengkoraknya berwarna-warni seperti lampu pohon Natal."

Salah satu tujuan utama analisis ini adalah menentukan seberapa keras gigitan andalgalornis. Untuk memeriksa kekuatan gigitan burung secara umum, Degrange dan Claudia Tambussi, anggota tim dari Museo de La Plata/CONICET, bekerja sama dengan Kebun Binatang La Plata. Mereka meminta para pengelola kebun binatang mengukur kekuatan gigitan seriema dan elang ketika kedua burung itu mengunyah alat pengukur gigitan.

"Kami menemukan bahwa kekuatan gigitan andalgalornis sedikit lebih rendah daripada perkiraan semula, dan jauh lebih lemah dibanding gigitan banyak mamalia karnivora yang seukuran dengannya," kata Degrange. "Andalgalornis mungkin mengkompensasikan gigitan yang lebih lemah itu dengan otot leher yang kuat agar dapat menggerakkan tengkoraknya yang kuat ke tubuh mangsanya seperti sebuah kapak."

Hasil penelitian tersebut menguak gaya hidup yang unik dari seekor burung predator. Tengkoraknya, meski kuat secara vertikal, ternyata lemah untuk guncangan ke kiri dan ke kanan. Paruh besarnya yang kosong di bagian dalam juga rentan patah bila andalgalornis berusaha mencengkeram mangsa besar yang berusaha melarikan diri.

Meski demikian, studi itu menunjukkan bahwa burung teror ini memiliki gaya menyerang yang elegan, bak petinju Muhammad Ali, strategi menyerang dan mundur dengan pukulan terpusat. Begitu mangsanya mati, andalgalornis akan mengoyak daging mangsanya kecil-kecil, menggunakan kekuatan tarikan leher ke belakang atau menelannya utuh-utuh.

Para ilmuwan memperkirakan burung teror adalah predator teratas dalam lingkungannya pada masa itu. Binatang pemangsa beragam mamalia yang kini telah punah itu ada kemungkinan bersaing dengan marsupialia bergigi taring yang mencuat seperti pedang.

TJANDRA DEWI | NSF

Berita terkait

BRIN Berikan Nurtanio Award ke Ahli Penerbangan & Antariksa Profesor Harijono Djojodihardjo

26 November 2023

BRIN Berikan Nurtanio Award ke Ahli Penerbangan & Antariksa Profesor Harijono Djojodihardjo

BRIN memberikan penghargaan tertinggi kepada periset Indonesia yang berprestasi, dan kepada tokoh yang telah memberikan andil kemajuan iptek.

Baca Selengkapnya

Jokowi Dorong Generasi Muda Kuasai Iptek Dibarengi Budi Pekerti

19 Agustus 2023

Jokowi Dorong Generasi Muda Kuasai Iptek Dibarengi Budi Pekerti

Jokowi mendorong pelajar Muhammadiyah untuk memiliki kemampuan iptek dan juga budi pekerti yang baik

Baca Selengkapnya

Jokowi Ungkap 3 Acuan Penting Menuju Visi Indonesia Emas 2045

15 Juni 2023

Jokowi Ungkap 3 Acuan Penting Menuju Visi Indonesia Emas 2045

Presiden Joko Widodo alias Jokowi membeberkan tiga hal penting yang menjadi acuan menuju visi Indonesia Emas 2045. Simak detailnya.

Baca Selengkapnya

Memahami Globalisasi serta Dampak Negatif dan Positifnya

10 Desember 2022

Memahami Globalisasi serta Dampak Negatif dan Positifnya

Dengan adanya globalisasi, segala aktivitas manusia semakin mudah. Namun lihat juga dampak negatif dan positifnya.

Baca Selengkapnya

Di Acara HUT PGRI, Jokowi Minta Guru Pastikan Anak Didik Kuasai Iptek dan Keterampilan Teknis

3 Desember 2022

Di Acara HUT PGRI, Jokowi Minta Guru Pastikan Anak Didik Kuasai Iptek dan Keterampilan Teknis

Jokowi meminta para guru memastikan anak didiknya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi

Baca Selengkapnya

Siti Fauziah Dorong Mahasiswa Kuasai Iptek dan Lestarikan Budaya

25 November 2022

Siti Fauziah Dorong Mahasiswa Kuasai Iptek dan Lestarikan Budaya

MPR membuka pintu lebar-lebar kepada seluruh elemen bangsa termasuk para mahasiswa untuk berkunjung dan mendapatkan semua informasi.

Baca Selengkapnya

BRIN Anugerahkan Habibie Prize 2022 kepada Empat Ilmuwan

10 November 2022

BRIN Anugerahkan Habibie Prize 2022 kepada Empat Ilmuwan

Penghargaan Habibie Prize 2022 diberikan pada empat ilmuwan yang memberikan kontribusi di bidang iptek dan inovasi.

Baca Selengkapnya

Presiden Tegaskan Kedudukan Pancasila sebagai Paradigma Iptek

4 November 2022

Presiden Tegaskan Kedudukan Pancasila sebagai Paradigma Iptek

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyelenggarakan Symposium on State Ideology and International Conference on Digital Humanities 2022 di Institut Teknologi Bandung.

Baca Selengkapnya

Pemanfaatan Iptekin sebagai Penentu Arah Kebijakan Nasional

20 April 2022

Pemanfaatan Iptekin sebagai Penentu Arah Kebijakan Nasional

Ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (Iptekin) telah menjadi salah satu faktor utama bagi negara-negara maju dalam mempercepat program pembangunan nasional di berbagai sektor, terlebih pada sektor pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan.

Baca Selengkapnya

Praktik Kebijakan Iptekin di Indonesia dan Malaysia

20 April 2022

Praktik Kebijakan Iptekin di Indonesia dan Malaysia

Praktik Kebijakan Iptekin di Indonesia dan Malaysia

Baca Selengkapnya