Para petani sagu bergotong royong membuat sekat kanal di perkebunan sagu di Desa Sungai Tohor, Meranti, Riau, 30 Desember 2014. Sekat tersebut berfungsi untuk mengatur kadar air gambut agar kebun sagu selalu basah. TEMPO/Riyan Nofitra.
TEMPO.CO, Jakarta - Restorasi 2 juta hektare lahan gambut Indonesia bukanlah tugas pemerintah semata. Perlu kerja sama dengan pelbagai pihak untuk memastikan proyek ini berjalan lancar.
“Masyarakat lokal harus menjadi aktor kunci restorasi,” kata Mitsuru Osaki, peneliti dari Fakultas Agrikultur Universitas Hokkaido, Jepang, saat dihubungi Tempo pada Selasa, 23 Februari 2016. Selama 10 tahun, ia melakukan kajian lahan gambut di Indonesia bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Menurut dia, masyarakat lokal yang banyak berkegiatan di sekitar lahan gambut dapat menjaga lahan yang tengah dipulihkan. Pemerintah perlu mengedukasi kelompok ini tentang pentingnya keberadaan gambut.
Peneliti utama bidang gambut BPPT, Bambang Setiadi, membenarkan hal ini. Masyarakat yang tak menyadari fungsi dan peran gambut terhadap lingkungan cenderung mempercepat proses perusakan.
“Seperti kalau disuruh perusahaan membakar lahan, mereka nurut saja. Karena tak tahu bahaya dan dampaknya apa,” katanya. Tak berhenti sampai di situ, menurut dia, edukasi juga harus terus menjalar hingga tingkat pejabat dan tokoh daerah.
Dengan kesadaran tinggi, proses restorasi gambut diharapkan dapat berjalan lancar. Osaki menawarkan empat metode, yaitu pencegahan kebakaran, pembasahan lahan, penanaman kembali, dan pengawasan. “Kami berkolaborasi dengan Badan Restorasi Gambut (BRG),” tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mendapuk BRG sebagai nakhoda restorasi 2 juta hektare lahan gambut pasca-kebakaran hutan dan lahan pada akhir 2015. Badan ini mendapat sokongan dana hibah dari berbagai negara yang mencapai triliunan rupiah.
Dapat Tunjangan Nyaris Rp 50 Juta, Ini Tanggapan Kepala BRIN
27 Agustus 2022
Dapat Tunjangan Nyaris Rp 50 Juta, Ini Tanggapan Kepala BRIN
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, Laksana Tri Handoko menanggapi peraturan baru yang soal tunjangannya yang hampir mencapai Rp 50 juta per bulan.