TEMPO.CO, Denpasar - Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terdiri dari ProFauna Indonesia, Yayasan Penyu Indonesia (YPI), Turtle Foundation dan Too Rare to Wear meluncurkan kampanye bertajuk "Keren Tanpa Sisik". Kampanye digelar untuk mengurangi perdagangan satwa dilindungi, penyu sisik, maupun produk yang mengandung penyu sisik.
Juru Kampanye "Keren Tanpa Sisik" Muhammad Jayuli mengatakan, kampanye sekaligus melindungi satwa langka tersebut. "Kami harapkan masyarakat tidak lagi menggunakan produk-produk aksesoris berbahan dari karapas atau cangkang penyu," ucapnya, Minggu 2 Februari 2020.
Ia mengatakan selain mendorong partisipasi masyarakat, pihaknya juga akan mendorong dan bermitra dengan aparat penegak hukum untuk memerangi perdagangan ilegal produk yang mengandung penyu sisik.
Jayuli menyebut perdagangan produk yang mengandung karapas penyu sisik (Eretmochelys imbricata) di Indonesia masih tinggi. Investigasi terbaru tim Profauna Indonesia mengungkap fakta perdagangan produk penyu sisik ilegal itu masih banyak terjadi di Bali, Nias, Sumatera Utara dan juga dijual secara online.
Perdagangan produk mengandung karapas penyu sisik itu paling banyak dijual secara online. Selama Agustus hingga September 2019, tim melakukan survei di 11 platform online untuk mengetahui perdagangan penyu sisik.
Kesebelas platform yang disurvei itu adalah Facebook, Instagram, Shoppe, Tokopedia, Bukalapak, Carousell, Prelo, Kaskus, Belanjaqu, Blogspot dan website. Hasilnya ditemukan 1.574 iklan dan 199 akun yang terkait perdagangan penyu sisik secara online.
Produk mengandung penyu sisik yang dijual secara online itu, antara lain dalam bentuk cincin, gelang, kalung dan aksesoris lainnya. Jumlah yang ditawarkan secara online itu ada 29.326 item dengan nilai uang diperkirakan sekitar Rp 5 miliar.
Harga produk mengandung penyu sisik itu ditawarkan dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 15 ribu untuk cincin yang sederhana, hingga jutaan rupiah untuk kipas tangan. Selain faktor lemahnya penegakan hukum, penyebab maraknya perdagangan produk mengandung penyu sisik itu adalah akibat rendahnya kesadaran masyarakat yang masih membeli produk itu.
"Alasan itulah yang mendorong koalisi NGO meluncurkan kampanye secara nasional untuk mengajak masyarakat berhenti membeli produk yang mengandung penyu sisik," kata Ketua ProFauna Indonesia Rosek Nursahid.
Ia mengatakan penyu sisik sudah masuk jenis satwa dilindungi undang-undang. Artinya penangkapan atau perdagangannya, baik dalam kondisi hidup maupun bagian tubuhnya seperti sisiknya itu dilarang. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi seperti penyu itu diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.