TEMPO.CO, Jakarta - Sejauh ini pandemi virus corona Covid-19 menyebabkan angka kematian di Amerika dan Eropa lebih tinggi daripada di bagian lain dunia. Menurut peta sebaran penularan virus itu yang dibuat Johns Hopkins University, lima negara asal dua benua itu menempati lima negara dengan kasus terbanyak yakni Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Inggris, dan Spanyol.
Hingga Senin malam, 1 Juni 2020, Amerika Serikat mencatat 1.790.191 kasus infeksi dengan angka kematian 104.383 orang; Brasil 514.849 kasus, kematian 29.314; Rusia 414.878 kasus, kematian 4.855; Inggris 276.156 kasus, kematian mencapai 38.571; dan Spanyol tercatat 239.479 kasus, kematian 27.127.
Sebagai pembanding, di Asia, India mencatat kasus terbanyak, totalnya 191.356, kematian 5.413 orang. Adapun Cina, negara pertama yang dilanda epidemi penyakit yang sama, melaporkan sekitar 83 ribu kasus infeksi dan 4.600 kematian.
Perbedaan itu mungkin dipengaruhi kebijakan pengujian dan metode penghitungan yang berbeda-beda antar negara atau kawasan. Namun perbedaan yang sangat mencolok dalam mortalitas menarik perhatian para peneliti yang ingin menelisik misteri sebaran virus corona Covid-19.
Para peneliti itu memeriksa faktor-faktor selain perbedaan kebijakan pengujian itu. Mereka memperbandingkan genetika dan respons sistem kekebalan, jenis virus yang berbeda, dan perbedaan regional pada tingkat obesitas, serta kesehatan umum di masing-masing kawasan. Berikut ini enam faktor yang diperiksa tersebut,
1. Angka kematian
Di Cina, tempat pertama kali virus dikabarkan itu muncul akhir tahun lalu telah mencatat 4.638 kematian, yang berarti tiga kematian per satu juta penduduk. Negara lain seperti Jepang memiliki sekitar tujuh per satu juta, Pakistan enam, Korea Selatan dan Indonesia lima. Beberapa negara seperti Vietnam, Kamboja dan Mongolia bahkan menyatakan nol kematian terkait Covid-19.
Bandingkan dengan sekitar 100 kematian per satu juta populasi di Jerman, sekitar 180 di Kanada, hampir 300 di Amerika dan lebih dari 500 di Inggris, Italia dan Spanyol.
Sejumlah warga mengantre untuk melakukan tes asam nukleat setelah adanyan kasus baru virus corona atau COVID-19 di Wuhan, provinsi Hubei, Cina, 16 Mei 2020. Kasus baru COVID-19 di Wuhan dimana pasien tidak menunjukkan gejala-gejala penyakitnya. REUTERS/Aly Song
Para ilmuwan di Chiba University, Jepang, menyorot lintasan virus di seluruh dunia dan mengatakan mendapati perbedaan regional yang mencolok. "Itu berarti kita perlu mempertimbangkan perbedaan regional terlebih dahulu, sebelum menganalisis kebijakan dan faktor lain apa yang mempengaruhi penyebaran infeksi di negara mana pun," kata Akihiro Hisaka dari Sekolah Pascasarjana Ilmu Farmasi, seperti dikutip dari Washington Post, Kamis 28 Mei 2020.
2. Kebijakan konvensional
Asumsi dasar saat ini adalah SARS-CoV-2 itu telah mengubah pemahaman bagaimana cara virus menginfeksi dan membunuh manusia di satu bagian dunia. Ini karena, menurut ahli epidemiologi di Columbia University, Amerika Serikat, Jeffrey Shaman, semua masyarakat di dunia menghadapi virus yang sama dengan gudang respon imun yang sama.
"Ada perbedaan dalam pengujian, pelaporan, dan kontrol antar satu negara dengan yang lainnya. Dan ada perbedaan dalam tingkat hipertensi, penyakit paru-paru kronis, dan lain-lain," kata dia menuturkan.