Satu hal yang pasti, plasma konvalesen dari setiap orang tidak sama kandungan atau konsentrasi antibodinya, sehingga memberi tantangan untuk mempelajarinya. Juga para peneliti tidak mungkin mengukur dan menerapkan standar konsentrasi antibodi di setiap sampel.
Bahkan saat ini, para peneliti di beberapa bagian dunia tidak mampu menguji apakah plasma darah mengandung 'antibodi penetralisir' yang kuat yang bisa mencegah replikasi virus. "Karena untuk mengurainya sangat mahal dan membutuhkan prosedur pemisahan khusus," kata Fazle Chowdhury, spesialis penyakit menular di Bangabandhu Sheikh Mujib Medical University di Dhaka, Bangladesh.
Mengumpulkan data uji klinis yang tegas dari penerapan terapi ini juga dipandang sulit karena para dokter telah memberikan terapi plasma darah ini kepada pasien yang sakit parah berdasarkan 'rasa kasihan'. Di Amerika Serikat, misalnya, program khusus yang disponsori Biomedical Advanced Research and Development Authority (BARDA) telah membagikan terapi plasma darah atas dasar itu kepada 66 ribu pasien--tanpa menjalankan kelompok kontrol (plasebo).
Para peneliti di program itu lalu mengumpulkan data dari 5.000 orang dan mempublikasikannya dengan pernyataan kalau terapi itu secara umum aman. "Tapi kita tidak tahu apa yang terjadi jika Anda membagikannya berdasarkan empati," kata Chowdhury. “Jika kita menggunakan plasma konvalesen, ini seharusnya melalui sebuah uji klinis."
Sebuah mesin apheresis memisahkan dan mengumpulkan plasma dari seluruh darah dari pasien Covid-19 yang telah pulih di Central Seattle Donor Center of Bloodworks Northwest, Washington, AS, Jumat 17 April 2020. ANTARA FOTO/Reuters-Lindsey Wasson/hp.
Tanpa adanya kelompok kontrol pula, tim di program itu mengamati lebih dari 35 ribu pasien penerima plasma donor dan membandingkan hasil dari mereka yang menerima plasma dengan kadar antibodi rendah dan tinggi. Studi itu, dipublikasi sebelum mendapat peer review, menyatakan mereka yang menerima transfusi segera setelah terdiagnosis infeksi Covid-19 dan menerima kandungan antibodi yang tinggi menunjukkan pemulihan yang lebih besar dan kemungkinan meninggal lebih rendah.
"Ini adalah temuan yang ekstrem penting," kata Cassandra Josephson, seorang pediatrik di Emory University di Atlanta, Georgia, yang merawat pasien Covid-19 anak-anak.
Baca juga:
Studi: OTG Anak-anak Lebih Berbahaya Tularkan Covid-19
Anthony Gordon, dokter anestesi di Imperial College, London, berpendapat berbeda. Dia menilai sulit mengambil kesimpulan tegas dari studi itu sejak minimnya pengacakan. Sebagai contoh, pasien penerima terapi plasma konvalesen mungkin saja telah menerima pengobatan sebelumnya sehingga peluang sembuhnya lebih besar. "Intinya, kita hanya bisa lihat keterkaitan, bukan melihat sebab dan efek," katanya.
NATURE