TEMPO.CO, Bandung - Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eko Budi Lelono mengatakan Gunung Anak Krakatau adalah salah satu gunung api di Indonesia yang letusannya berpotensi membangkitkan tsunami.
“Sejarah mencatat korelasi gunung api dengan terjadinya tsunami ini di mana terjadi kejadian yang paling baru adalah erupsi Gunung Anak Krakatau, yaitu pada tahun 2018,” kata dia, dalam konferensi pers daring, Rabu, 9 Februari 2022.
Eko mengatakan, erupsi Gunung Anak Krakatau memiliki karakteristik mirip Gunung Api Tonga di Selandia Baru, yakni berpotensi memicu tsunami, kendati saat ini kemungkinan tsunami akibat erupsi Gunung Anak Krakatau relatif kecil.
“Memang karakteristik kedua gunung api ini identik, namun berdasarkan data pemantauan terkini kemungkinan terjadinya itu sangat kecil. Ini ada beberapa alasan. Yang pertama volume intrusi magma di Gunung Api Anak Krakatau saat ini belum besar, ini terindikasi dari rekaman seismik atau deformasi dari catatan gas SO2-nya,” kata Eko.
Namun, erupsi bukan satu-satunya pemicu tsunami yang bisa dihasilkan dari Gunung Anak Krakatau. Pada tahun 2018 misalnya terjadi longsoran tubuh gunung api tersebut yang memicu tsunami.
“Secara historis longsoran Gunung Anak Krakatau yang terjadi ketika ketinggian puncaknya melebihi 300 meter di atas permukaan laut ini terjadi pada 2019 kemarin. Ini akibat dari ketidakstabilan lereng ini runtuh atau longsor pada ketinggian 300 meter. Saat ini mungkin ketinggiannya masih 100 meter. Ini kemungkinan kecil bisa menimbulkan hal yang sama seperti terjadi di Tonga,” kata Eko.
Eko mengatakan Badan Geologi telah mengirim tim tanggap darurat untuk melakukan evaluasi data terkait aktivitas Gunung Anak Krakatau. Pekan lalu misalnya, gunung tersebut erupsi. Badan Geologi juga berkoordinasi dengan sejumlah lembaga terkait aktivitas gunung tersebut di antaranya dengan BMKG, serta BPBD setempat. Hasilnya sejumlah rekomendasi.
Pertama, penguatan pemantauan aktivitas Gunung Anak Krakatau termasuk potensi longsor di tubuh gunung api tersebut dengan dilakukan secara menerus memanfaatkan data dari citra satelit serta GPS. Kedua, longsoran tubuh gunung tersebut bisa dipicu oleh aktivitas tektonik, erupsi gunung api, serta longsor pada lereng bawah laut.
“Oleh karena itu saran dalam hal ini untuk penguatan Early Warning System adalah dengan menempatkan tide gauge dan buoy pada pulau terdekat Gunung Anak Krakatau sehingga potensi terjadinya tsunami dapat diketahui sebelum gelombang tsunami sampai ke pantau yang berpotensi menimbulkan korban jiwa,” kata Eko.
Tide gauge atau buoy tersebut adalah alat yang memantau naik turunnya permukaan air laut untuk memantau tsunami.
Eko mengatakan Badan Geologi saat ini memutuskan masih mempertahankan status aktivitas Gunung Anak Krakatau di Level 2 atau Siaga. “Kegiatan saat ini memang belum perlu menaikkan status. Dan tim masih melakukan evaluasi data secara menyeluruh untuk mengestimasi ancaman bahaya ke depannya,” kata dia.
Gunung Anak Krakatau terpantau erupsi pada 4-6 Februari 2022 dengan teramati aktivitas letusan dengan kolom asap dengan ketinggian berkisar 800-2000 meter di atas puncak. Aktivitas kegempaan sejak pertengahan Desember 2021 mengindikasikan terjadinya suplai magma kendati intrusi magma menuju permukaannya terpantau relatif belum besar. Data citra satelit menunjukkan indikasi terjadinya aktivitas magmatik.
“Namun demikian anomali termal belum teramati satelit. Artinya aktivitas yang terjadi di dominasi oleh aktivitas eksplosif lontaran material piroklastik, daripada aktivitas efusif yang berupa aliran lava. Selanjutnya data deformasi dari satelit belum mengindikasikan perubahan yang signifikan. Data tiltmeter yang kami pasang di lapangan ada deformasi permukaan dari Gunung Api Anak Krakatau, namun belum menunjukkan hal yang signifikan,” kata Eko.
Eko mengatakan, mengenai erupsi Gunung Anak Krakatau dan aktivitas gempa bumi yang terjadi, seperti gempa Banten yang terjadi belum lama, kesimpulan sementara tidak berkaitan.
“Kami melihat berdasarkan data pemantauan menunjukkan kondisi overpressure di Gunung Anak Krakatau ini terjadi sebelum gempa Banten. Jadi gempa bumi global dengan kekuatan besar yang memicu erupsi gunung api kalau kita lihat hanya sekitar 0,4 persen saja. Dengan catatan gunung api yang mengalami erupsi berada pada kondisi overpresur sebelumnya. Sebelum ada gempa ini kondisinya sudah overpressure,” kata Eko.
Eko mengatakan, Gunung Anak Krakatau bukan satu-satunya gunung api yang erupsinya menimbulkan tsunami di Indonesia. “Saat ini terdapat sembilan gunung api yang berpotensi membangkitkan tsunami jika terjadi erupsi,” kata dia.
Sembilan gunung api tersebut adalah Gunung Anak Krakatau (Selat Sunda), Tambora (NTB), Ile Werung/Hobalt (NTT), Rokatenda (NTT), Ruang (Sulut), Awu (Sulut), Gamkonora (Malut), Teon (Maluku), serta Gamalama (Maluut/Ternate). Gunung Ile Werung/Hobalt terhitung yang terbanyak menghasilkan tsunami yakni tercatat sudah tiga kali pada tahun 1973, 1979, serta 1983. Setelah itu disusul Gunung Anak Krakatau sebanyak dua kali, yakni 1883, serta 2018.
Baca:
BNPB: Gunung Anak Krakatau Erupsi 9 kali, Hindari Radius 2 Kilometer
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.