Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Apa itu Karbon Biru untuk Antisipasi Pemanasan Global?

image-gnews
Ilustrasi hutan mangrove.
Ilustrasi hutan mangrove.
Iklan

TEMPO.CO, JakartaPemanasan global yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir tak luput dari peran karbon dioksida. Karbon ini sebagian besar dihasilkan dari sisa pembakaran bahan bakar fosil, seperti kendaraan bermotor. Untungnya, lautan dan pantai menyediakan cara alami untuk mengurangi keberadaan karbon di atmosfer bumi.

Mengutip laman oceanservice.noaa.gov, ekosistem laut dan pesisir pantai di seluruh dunia seperti rumput laut, bakau, dan rawa-rawa ternyata memiliki peran menyerap karbon di atmosfer. Karbon yang diserap oleh ekosistem laut ini kemudian disebut sebagai karbon biru. Setelah diserap, sebagian besar senyawa disimpan di dalam tanah. Bahkan sering kali karbon yang ditemukan di tanah pesisir berumur ribuan tahun.

Uniknya, meskipun ukurannya lebih kecil, ekosistem pesisir mampu menyerap karbon jauh lebih cepat daripada hutan. Ini lantaran, menurut penelitian, vegetasi di ekosistem pesisir mampu menyimpan karbon 3 hingga 5 kali lebih besar dari vegetasi di darat. Selain itu, berbeda dengan ekosistem daratan yang cenderung tak bertambah pada saat tertentu, ekosistem pesisir mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam sedimen secara terus-menerus dalam kurun waktu lama.

Baca: Australia dan Tiga Negara Pasifik Jalankan Inisiatif Karbon Biru

Ekosistem Pesisir dan Karbon Biru

Menurut Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat atau AS, penting untuk menjaga eksistensi ekosistem pesisir. Pasalnya, ketika ekosistem ini rusak, sejumlah besar karbon akan dilepaskan kembali ke atmosfer. Akibatnya, selain bank penyimpangan karbon biru hilang, rusaknya ekosistem pesisir justru memperparah kondisi perubahan iklim. Karbon yang dikeluarkan menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang signifikan. Oleh sebab itu, melindungi dan memulihkan habitat pesisir adalah cara terbaik mengurangi perubahan iklim.

Ironisnya, menurut Komisi Oseanografi Antarpemerintah, hampir 50 persen dari lahan basah pesisir global pra-industri telah hilang sejak abad ke-19. Penurunan atau degradasi ini terus berlanjut dengan perkiraan kerugian 0,5 hingga 3 persen per tahun. Penyebab degradasi ini adalah eksploitasi hutan bakau, pembangunan pesisir perkotaan dan industri, polusi, serta alih fungsi lahan pertanian dan akuakultur. Pelepasan karbon biru akibat kerusakan ekosistem pesisir ini diperkirakan mencapai hingga 19 persen emisi dari deforestasi global.

Indonesia seharusnya menjadi negara dengan peranan penting dalam agenda karbon biru. Dikutip dari laman kkp.go.id, hal ini karena Indonesia memiliki estimasi luasan ekosistem mangrove terluas di dunia, yaitu sebesar 3.364.080 hektar pada 2021. Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi luasan ekosistem lamun terluas kedua di dunia setelah Australia yaitu sebesar 832.000 hingga 1.800.000 hektar. Dari potensi luasan lamun tersebut, sebanyak 293.464 hektare luasan lamun telah tervalidasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, Indonesia memiliki basis sumber daya alam dan potensi karbon biru yang sangat kaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah Indonesia meliputi lebih dari 60 persen dari total wilayah Coral Triangle dunia, terutama didominasi Indonesia bagian timur. Pemerintah saat ini sudah melakukan rehabilitasi mangrove sebagai salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN.

“Dengan potensi ekonomi dan ekologi yang sangat besar, kita harus mengatur mindset bahwa Indonesia merupakan negara climate super power,” ujar Sarwono, dalam Diskusi Pojok Iklim oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Rabu, 7 Juli 2021, dikutip dari laman ppid.menlhk.go.id.

HENDRIK KHOIRUL MUHID 

Baca juga: Mengenal Karbon Biru, Ekosistem Penyerap Karbon Selain Hutan

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram http://tempo.co/. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

 

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Profil Nahdlatul Wathan, Organisasi Massa Islam Pertama Bangun Ekosistem di IKN

1 hari lalu

Peletakan batu pertama pembangunan kompleks Nahdlatul Wathan di Buluminung, Penajam, Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, Minggu, 5 Mei 2024, oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) TGKH Lalu Gede Zainuddin Atsani. Foto: Nahdlatul Wathan
Profil Nahdlatul Wathan, Organisasi Massa Islam Pertama Bangun Ekosistem di IKN

Nahdlatul Wathan (NW) menjadi organisasi massa Islam pertama yang membangun ekosistem di Ibu Kota Nusantara (IKN). Begini profilnya?


Hutan Mangrove Lebih Efektif Menyerap Emisi Karbon, Ini Penjelasannya

1 hari lalu

Warga berwisata ke Tower Mangrove di tengah hutan mangrove Kuala Langsa di Kota Langsa, Aceh, Minggu, 25 Februari 2024. Tower setinggi 45 meter itu menjadi landmark wisata baru Kota Langsa dengan daya tarik ekowisata, konservasi dan penelitian di hutang mangrove seluas 8.000 hektare tersebut. ANTARA/Khalis Surry
Hutan Mangrove Lebih Efektif Menyerap Emisi Karbon, Ini Penjelasannya

Hutan mangrove memiliki segudang manfaat terutama efektif menyerap emisi karbon. Begini penjelasannya .


Para Ilmuwan Gambarkan Situasi Dunia Bila Suhu Global Menembus Batas 1,5 Derajat Celcius

5 hari lalu

Sisifus. Ilustrasi TEMPO/Imam Yunianto
Para Ilmuwan Gambarkan Situasi Dunia Bila Suhu Global Menembus Batas 1,5 Derajat Celcius

Survei besutan The Guardian menggambarkan pandangan para ahli mengenai situasi distopia akibat efek pemanasan global. Bencana iklim mendekat.


5 Manfaat Energi Terbarukan yang Harus Dilestarikan

7 hari lalu

Koalisi dari organisasi masyarakat sipil dari Greenpeace Indonesia, Enter Nusantara, dan Market Forces menggelar aksi bersepeda di Car Free Day Jakarta pada Minggu, 5 Mei 2024. Dalam aksi ini mereka meminta agar perbankan berhenti berinvestasi terhadap energi kotor dan beralih ke energi terbarukan. Dok: Istimewa
5 Manfaat Energi Terbarukan yang Harus Dilestarikan

Energi terbarukan perlu dijaga kelestariannya untuk generasi mendatang karena memiliki beberapa manfaat. Simak 5 manfaat energi terbarukan.


Profil Kawasan Wallacea, Surga Biodiversitas yang Diintai Ancaman Kerusakan Lingkungan

8 hari lalu

Wallacea Week 2017 digelar di Perpustakaan Nasional mulai Senin, 16 Oktober 2017. Kredit: Kistin Septiyani
Profil Kawasan Wallacea, Surga Biodiversitas yang Diintai Ancaman Kerusakan Lingkungan

Kawasan Wallacea seluas 347 ribu kilometer persegi diisi 10 ribu spesies tumbuhan. Sebagian kecil dari jumlah tersebut sudah terancam punah.


Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

16 hari lalu

Ketua RT8/RW4 Kelurahan Malaka Jaya, Taufiq Supriadi, ketika ditemui Tempo pada Senin, 22 April 2024.
Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

Salah satu Rukun Tetangga (RT) di wilayah Jakarta Timur kini tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).


Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

26 hari lalu

Mobil terjebak di jalan yang banjir setelah hujan badai melanda Dubai, di Dubai, Uni Emirat Arab, 17 April 2024. REUTERS/Rula Rouhana
Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

Dubai terdampak badai yang langka terjadi di wilayahnya pada Selasa lalu, 16 April 2024.


Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

31 hari lalu

Anomali suhu udara permukaan untuk Maret 2024. Copernicus Climate Change Service/ECMWF
Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

Maret 2024 melanjutkan rekor iklim untuk suhu udara dan suhu permukaan laut tertinggi dibandingkan bulan-bulan Maret sebelumnya.


Walhi dan Pokja Pesisir Kaltim: Teluk Balikpapan Rusak akibat Pembangunan IKN

33 hari lalu

Direktur Walhi Jawa Tengah Fahmi Bastian. Foto dok.: Walhi
Walhi dan Pokja Pesisir Kaltim: Teluk Balikpapan Rusak akibat Pembangunan IKN

Walhi dan Pokja Pesisir Kalimantan Timur sebut kerusakan Teluk Balikpapan salah satunya karena efek pembangunan IKN.


Dirjen Dikti dan Gunadarma Kick-off Kedaireka 2024

48 hari lalu

Dirjen Dikti dan Gunadarma Kick-off Kedaireka 2024

Era di mana inovasi menjadi pondasi kemajuan, sinergi antara dunia akademik dan industri menjadi faktor penting dalam mendorong kemajuan suatu bangsa.