TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Padjadjaran (Unpad) mengantisipasi penggunaan ChatGPT (Generative Pre-Trained Transformer) dan aplikasi sejenis di kalangan mahasiswa. Tujuannya, menurut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unpad Arief Sjamsulaksan Kartasasmita, untuk mencegah plagiarisme.
“Itu harus diterangkan kepada mahasiswa untuk menggunakan teknologi secara benar, tidak melanggar hukum dan etika,” katanya kepada Tempo pada Senin, 13 Februari 2023.
Menurut Arief, Unpad tidak akan mengeluarkan kebijakan khusus soal penggunaan aplikasi ChatGPT dan sejenisnya yang berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligent (AI). Unpad pun memilih bersikap untuk tidak melarang atau menghalangi pemakaian aplikasi tersebut karena teknologi terus berkembang.
“Beberapa langkah preventif kita lakukan, tapi kami enggak bisa secara reaktif melarang,” ujarnya.
Adapun untuk mencegah dampaknya seperti penjiplakan terkait tugas kuliah, menurut Arief, dosen misalnya harus memeriksa silang ujian tulis, ujian tugas, dan ujian lisan. Tujuannya untuk mengonfirmasi secara komprehensif bagaimana performa mahasiswa.
Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan perangkat lunak antiplagiarisme. “Di unpad juga kami punya software yang bisa mendeteksi apakah ini (hasil) ChatGPT atau bukan,” kata Arief.
Adapun Guru Besar Bidang Ilmu Kecerdasan Buatan Fakultas Informatika Telkom University, Suyanto mengatakan, sebagian akademisi menganggap ChatGPT sebagai ancaman bagi dunia pendidikan. Sebagian lainnya justru memandang ChatGPT sebagai peluang.
“Karena terobosan besar teknologi artificial intelligence tersebut bisa menjadi alat yang memperlancar proses pendidikan dan mengakselerasi perkembangan sains, rekayasa, dan teknologi,” katanya kepada Tempo, Senin, 13 Februari 2023.
Suyanto membandingkan kejadian sekarang ini mirip ketika kalkulator maupun internet pertama kali diperkenalkan. Setiap perguruan tinggi, bahkan hingga program studi, menurut dia, punya kebijakan dan aturan berbeda soal ChatGPT sesuai penilaian atau evaluasi hasil belajar yang digunakan. “ChatGPT perlu disikapi secara bijak,” katanya.
Pelarangan secara total, menurut Suyanto, jelas tidak mungkin dan bisa berdampak negatif. Sementara penggunaan secara bebas juga berpotensi buruk. “Langkah bijak yang bisa dilakukan adalah meminta para dosen untuk mengubah instruksi dan model evaluasi hasil belajar,” ujarnya.
Jika ChatGPT dilarang, kata dia, dosen harus memberikan instruksi dan penjelasan yang tegas. Alternatif lainnya, dosen membuat tugas berupa studi kasus yang benar-benar baru, sangat spesifik, dan menantang. “Untuk mendorong para mahasiswa berpikir kritis dan kreatif sehingga mereka tidak bisa hanya mengandalkan ChatGPT,” kata Suyanto.
Pilihan Editor: Ini Hal yang Sebabkan Gagal Daftar KIP Kuliah 2023
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.