Lima itu adalah mandar gendang (Gallirallus wallacii), cekakak murung (Todiramphus funebris), kepudang halmahera (Oriolus phaeochromus), kepudang-sungu Halmahera (Celebesia parvula) dan elang alap Halmahera (Accipiter henicogrammus).
Kawasan hutan di Gane juga menjadi surga bagi burung berparuh bengkok seperti nuri kalung ungu (Eos squamata), bayan (Eclectus roratus), dan kasturi ternate (Lorius garrulus). “Hutan alami ini yang menjaga keseimbangan rantai makanan bagi burung-burung paruh bengkok,” kata Muhammad Julham, pengajar di Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Nuku Tidore.
Khusus untuk kakatua putih, Julham menjelaskan, berdasarkan identifikasi yang dilakukan penduduk setempat, ditemukan di 35 lokasi yang tersebar di Desa Gane Barat hingga Tanjung Joronga. Lokasi-lokasi itu merupakan kawasan hutan yang kini telah dikonversi menjadi perkebunan sawit.
Peta Lahan perkebunan Sawit di Gane Timur, Wilayah Selatan Pulau Halmahera milik PT Gelora Mandiri Membangun. Istimewa
Sebelum ada kebun sawit, populasi kakatua putih di kawasan tersebut diperkirakan mencapai 5-6 individu per kilometer persegi. "Saat ini kami belum menelitinya lagi,” tutur Julham.
Studi terakhir pada 2020 lalu memperkirakan populasi kakatua putih di Halmahera 3-4 ribu ekor dengan tingkat kepadatan 3 individu per kilometer persegi. Jumlah populasi itu tersebar di hutan di Halmahera bagian timur, tengah, utara dan selatan. Padahal pada 1991–1992, populasinya 49–212 ribu ekor dengan tingkat kepadatan mencapai 40-72 individu per kilometer persegi.
Yayasan Burung Indonesia juga mengidentifikasi tak kurang dari 77 jenis burung endemik Maluku Utara yang habitatnya telah menyusut signifikan. Sedangkan penyusutan populasi mencapai 10 persen dalam setahun.
Itu sejalan dengan perhitungan sisa populasi burung kakatua putih yang tersisa 3-4 ribu di habitatnya saat ini. Pemetaannya, selain di Pulau Halmahera, ada juga di Mandioli, Tidore, Ternate, Bacan, dan Kasiruta. Lokasi-lokasi itu rata-rata merupakan kawasan yang masih memiliki hutan dengan tutupan pohon setinggi lebih dari 20 meter.
“Spesies ini, wilayah alaminya adalah hutan primer dan sekunder dengan tutupan pohon berumur 40 tahun. Artinya kawasan hutan dengan pohon besar,” kata Benny Aladin Siregar, peneliti ornitologi Yayasan Burung Indonesia di Halmahera.
Apa Kata Pemda dan Perusahaan Sawit?
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Halmahera Selatan, Thamrin Imam, mengakui kualitas lingkungan di Halmahera Selatan cenderung mengalami degradasi. Beberapa keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna dicatatnya pula mengalami penurunan. Namun, menurut dia, tren dan kondisi itu relatif masih dapat dikendalikan.
"Kondisi kehutanan di Halmahera Selatan secara umum masih cukup baik,” kata Thamrin lewat sambungan telepon.
Keterangan dan data lebih rinci diharapkan didapat dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara Syukur Lila. Sayang, Syukur tidak bersedia ditemui saat Tempo mendatangi kantornya di Kelurahan Sofifi, Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan. Ketika dihubungi, ia malah mengarahkan kepada salah satu stafnya yang juga tidak berkenan menjawab pertanyaan Tempo.
Dari PT Gelora, Irfan Susandra, asisten manajer, juga enggan memberikan tanggapan terkait dampak perkebunan sawit terhadap satwa endemik. Ia mengatakan semua pernyataan ihwal aktivitas perusahaan di Halmahera dikeluarkan oleh Bagian Hubungan Masyarakat PT Korindo di Jakarta yang merupakan induk usaha dari PT Gelora. Dia hanya menegaskan kalau perusahaan mematuhi semua hukum dan peraturan yang relevan.
Artikel ini diproduksi atas dukungan dana hibah Jurnalisme hutan Hujan atau RainForest Journalism Fund-Pulitzer Center.
Pilihan Editor: Sorong Selatan Pertama di Papua Berhasil Eliminasi Kasus Malaria
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.