TEMPO.CO, Jakarta - Kapal Pinisi menjadi salah satu produk budaya kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya Suku Bugis. Salah satu suku di Nusantara yang lihai mengarungi samudra ini menggunakan kapal tradisional buatan sendiri untuk berlayar. Bahkan seni pembuatannya terpilih sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural of Humanity) oleh UNESCO pada 2017. Lantas, bagaimana sejarah Kapal Pinisi?
Apa itu Kapal Pinisi?
Dilansir dari elib.unikom.ac.id, pemilihan nama Pinisi terinspirasi dari sebuah kota pelabuhan di Italia, yakni Venecia. Dalam dialek Konjo, kata ini berubah menjadi Penisi dan terakhir Pinisi. Penamaan ini diduga akibat kebiasaan masyarakat Bugis yang suka memberi nama terhadap benda kesayangan dengan kesan istimewa.
Baca juga:
Sumber lain menyebutkan bahwa kata pinisi berasal dari Bahasa Bugis ‘Panisi’ yang berarti sisip atau ‘Mappanisi’, artinya menyisipkan. Mappanisi sendiri merupakan proses menyumbat sambungan papan dengan bahan tertentu supaya kapal tidak kemasukan air. Metode pembuatan Mappanisi akhirnya berujung pada pemberian nama Panisi, lalu berganti Pinisi.
Sejarah Kapal Pinisi
Terdapat beberapa versi sejarah awal terbentuknya Kapal Pinisi. Salah satunya yang paling terkenal tertulis dalam naskah kuno I La Galigo. Dikisahkan bahwa sosok putra mahkota Kerajaan Luwu, Sawerigading lah yang mencetuskan dan melalang buana di lautan dengan kapal layarnya.
Konon pada awal abad ke-14 sampai abad ke-15 Masehi, Sawerigading menaruh hati kepada saudara kembarnya sendiri, Putri Wanteri Abeng. Sang putri menyadari bahwa cinta terlarang dengan saudara kandungnya tidak akan mungkin dapat diteruskan. Akhirnya, Putri menyarankan Sawerigading untuk pergi ke Negeri Tiongkok untuk menemui We Cudai.
Sesaat sebelum berlayar, Putri Wanteri memberi pesan kepada Sariwegading apabila ia berhasil mempersunting putri Kerajaan Tiongkok, dirinya tidak bisa kembali ke Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan. Namun, setelah menikah, ia merasa rindu kepada kampung halamannya. Kemudian, ia mengabaikan ucapan Putri dan hendak kembali pulang.
Dengan mengendarai kapal yang sama ketika berangkat ke Tiongkok, Sariwegading bertekad untuk berlayar kembali ke Luwu. Sayangnya, saat tiba kurang beberapa mil dari bibir pantai, kapalnya dihantam ombak besar dan cuaca buruk. Sehingga kapal Sawerigading hancur dan puing-puing terdampar di berbagai tempat.
Bagian badan kapal ditemukan di Pantai Ara, tali-temali terdapat di Pantai Tanjung Bira, dan puing lunasnya menuju ke Lemo-Lemo. Oleh masyarakat setempat, seluruh puing-puing disusun kembali menjadi kapal yang utuh. Dengan keahlian ini, maka terciptalah kapal kuat nan kokoh yang diberi nama Kapal Pinisi.
Filosofi Kapal Pinisi
Bagi orang Bugis, Kapal Pinisi tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi, tetapi juga memiliki arti mendalam. Berikut beberapa nilai yang mencerminkan filosofi dalam proses pembuatan Kapal Pinisi.
- Nilai kerja sama: proses pembentukan kapal tradisional ini membutuhkan tanggung jawab besar dan setiap pekerja mempunyai tugas masing-masing yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
- Nilai kerja keras: Proses pengerjaan berlangsung hingga beberapa bulan, mulai dari proses pemotongan, perakitan, hingga peluncuran. Maka dari itu kerja keras dari setiap pekerja sangat menentukan waktu dan kualitas Kapal Pinisi yang dihasilkan.
- Nilai ketelitian dan keindahan: poin filosofi Kapal Pinisi yang satu ini menyangkut keterampilan, jiwa seni, dan estetika dalam proses pembuatannya.
- Nilai religius: ilmu dalam proses pengerjaan diturunkan secara turun-temurun dan para pengrajin menggelar upacara wajib, seperti persembahan tertentu.
Demikian penjelasan sekilas tentang sejarah Kapal Pinisi dan filosofinya. Semoga bermanfaat.
Pilihan editor: Peristiwa Sejarah Sepanjang Maret: Serangan Umum 1 Maret sampai Bandung Lautan Api
MELYNDA DWI PUSPITA