TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM mengungkap ribuan warga negara Indonesia (WNI) yang pindah kewarganegaraan Singapura. Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Silmy Karim mengatakan, setiap tahunnya sejumlah mahasiswa Indonesia di Singapura berganti kewarganegaraan.
Fenomena itu kemudian menuai berbagai pro dan kontra. Menanggapi hal tersebut, Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Tuti Budirahayu menilai hal ini sebagai sebuah fenomena migrasi yang lumrah terjadi.
“Ini seperti fenomena migrasi, ya. Dalam migrasi itu kan ada pull factor dan push factor, ada faktor penarik dan pendorong,” ujarnya dilansir dari situs Unair pada Jumat, 14 Juli 2023.
Tuti menerangkan fenomena pindah kewarganegaraan ini terjadi lantaran adanya faktor penarik dan pendorong. Adanya kesempatan bekerja, berkarier, serta menjalani kehidupan yang lebih baik menjadi faktor pendorong berpindahnya kewarganegaraan para WNI.
“Kalau faktor pendorongnya, saya pikir adanya kesempatan bekerja, berkarier, dan berkehidupan lebih baik dari pada di daerah asal itu sangat mendorong untuk berpindah, ya,” terangnya.
Sementara itu, Tuti menyebut kondisi Singapura yang lebih maju dan tertata di berbagai sektor kehidupan, khususnya ekonomi menjadi faktor penarik bagi para WNI.
“Faktor penariknya bisa lihat, ya, bahwa Singapura adalah negara yang jauh lebih maju, tertata, terkenal memiliki disiplin yang tinggi, dan tentu saja penghasilan yang mereka dapatkan jauh lebih tinggi di sana,” lanjutnya.
Fenomena berpindahnya WNI ini tentu saja menimbulkan dampak bagi Indonesia. Menurut dia, jika diaspora Indonesia menempati negara-negara yang lebih maju dan berkontribusi di negara tersebut maka hal itu seharusnya bisa membantu mendongkrak nama baik Indonesia di mata dunia.
“Sebetulnya kalau orang Indonesia banyak bermigrasi ke negara lain yang lebih maju, secara tidak langsung bisa mengangkat nama baik Indonesia. Selain itu, para diaspora itu nanti dapat menerapkan pengetahuan atau keahliannya di Indonesia saat kembali,” jelasnya.
Akan tetapi, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair itu tidak menampik adanya kemungkinan dampak negatif yang timbul.
“Sisi negatifnya, banyak orang yang bermigrasi tapi tidak memberikan dampak. Artinya mereka tidak membawa daerah asalnya itu lebih maju. Berbagai sektor akhirnya menjadi terabaikan karena kurangnya sumber daya manusia dan semacamnya,” imbuhnya.
Momentum Perbaikan untuk Pemerintah
Lalu, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap? Tuti mengatakan dalam hal ini tidak seharusnya pemerintah mengekang mereka yang berpindah kewarganegaraan. Fenomena pindah kewarganegaraan oleh para WNI ini sepenuhnya adalah bagian dari hak asasi manusia.
“Sebenarnya itu hak asasi, ya. Tergantung apakah proses pengajuan perpindahan kewarganegaraan itu nanti disetujui atau tidak dari pihak Singapura. Kalau disetujui saya rasa tidak ada masalah,” ungkapnya.
Kemudian, Tuti memandang bahwa kemunculan fenomena ini justru menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah. Ia memandang, fenomena berpindahnya WNI ini mengindikasikan adanya permasalahan struktural yang terjadi di Indonesia.
“Masalahnya kalau ini menjadi berbondong-bondong berarti ada sesuatu yang salah di Indonesia. Mungkin saja mereka bermigrasi karena enggak nyaman lagi tinggal di sini. Berarti pemerintah Indonesia tidak memberikan iklim yang baik untuk mereka. Sebetulnya ini momentum pemerintah untuk berbenah,” tutupnya.
Pilihan Editor: Raih Skor Sempurna 1000 di UTBK SNBT 2023, Nada Masuk Fakultas Kedokteran UNS