TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang Pemilu 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan seperti di sekolah dan kampus sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa, 15 Agustus 2023.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyayangkan putusan tersebut. Mereka berpendapat bahwa tempat pendidikan harusnya menjadi ruang netral untuk kepentingan publik.
“Padahal selama ini, tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah menjadi ruang netral untuk kepentingan publik, sehingga dilarang menggunakan fasilitas pendidikan dan fasilitas pemerintah dijadikan tempat kampanye saat pemilihan umum,” ujar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, dalam siaran persnya pada Senin, 21 Agustus 2023.
Selain itu, Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo pun membahas sisi teknis dan potensi dampak kampanye bagi para peserta didik. “Secara teknis nantinya juga akan sulit bagi sekolah saat lembaganya digunakan untuk tempat kampanye disaat proses pembelajaran sedang berlangsung. Hal ini juga berpotensi membahayakan keselamatan peserta didik nantinya,” ujar Heru.
Alasan FSGI Menyayangkan Putusan
Ada beberapa alasan yang membuat FSGI menyayangkan keputusan ini. Hal pertama yang menjadi kekhawatiran mereka adalah terkait para peserta didik di jenjang TK sampai SMP yang belum memenuhi usia memilih saat pemilu.
Bahkan, di jenjang SMA/SMK sederajat pun belum semuanya berusia 17 tahun dan mempunyai hak pilih; mereka merupakan pemilih pemula yang menjadi target banyak calon saat pemilu. Ini memunculkan pertanyaan tentang apakah kampanye boleh dilakukan di lingkungan satuan pendidikan tersebut.
Selain itu, FSGI mengatakan bahwa larangan penggunaan tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah untuk kepentingan elektoral harus bersifat mutlak tanpa syarat. Lantas, apabila MK berdalil bahwa tempat ibadah tak layak difungsikan untuk kepentingan kampanye, begitu pun seharusnya dengan tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah.
Menurut FSGI, tempat pendidikan memang boleh dijadikan tempat mempelajari ilmu politik. Fasilitas pemerintah pun boleh digunakan untuk pencerdasan politik bangsa. Namun demikian, tidak untuk kepentingan politik elektoral tertentu.
Adapun, syarat “tanpa atribut kampanye” dalam putusan MK dinilai tidak menghilangkan relasi kuasa dan uang. Sebab, dua hal itu bisa saja disalahgunakan oleh institusi pendidikan untuk memasarkan panggung politik di dalam tempat pendidikan.
“Kondisi tersebut jelas berbahaya bagi netralitas lembaga pendidikan ke depannya. Apalagi jika yang berkampanye adalah kepala daerah setempat, relasi kuasa ada dan bahkan bisa menggunakan fasilitas sekolah tanpa mengeluarkan biaya. Jika menggunakan aula yang berpendingin udara, maka beban listrik menjadi beban sekolah,” jelas Retno.
Rekomendasi FSGI
Putusan MK bersifat final dan mengikat, tidak dapat diajukan upaya hukum untuk diubah. Maka, FSGI menyerukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera merevisi peraturan terkait kampanye. Mereka menyampaikan beberapa rekomendasi.
Pertama, FSGI mendorong peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat dan daerah untuk mengawasi pelaksanaan kampanye di lembaga-lembaga pendidikan, terutama di sekolah negeri. Hal ini dikarenakan adanya relasi kuasa—sekolah negeri tak mungkin menolak perintah kepala daerah petahana melalui Kepala Dinas Pendidikan setempat untuk menggunakan lembaga pendidikan sebagai tempat kampanye.
Kedua, FSGI mendorong KPU untuk merevisi peraturan kampanye pasca putusan MK ini dengan merincikan aturan kampanye di lembaga pendidikan. Contohnya, kampanye diperbolehkan di jenjang pendidikan mana saja, dan waktu penggunaannya kapan saja agar tidak mengganggu kegiatan belajar.
Ketiga, FSGI mendorong pemerintah menjamin keamanan warga sekolah oleh penegak hukum ketika kampanye berlangsung, dengan batasan persyaratan jaminan yang ketat oleh pihak yang berwenang.
FSGI mengatakan saat kegiatan kampanye berlangsung di sekolah, penegak hukum wajib mengamankan peserta didik per sekolah jenjang SMA/SMK sederajat sebanyak 200 sampai 350 orang. Jumlah peserta didik pemilih pemula sebanyak ini disebut tak akan menyulitkan kepolisian dan Komando Rayon Militer (Koramil) dalam penjagaan keamanan.
“Apabila pemerintah dapat menjamin ada manfaat pendidikan politik yang lebih besar kepada pemilih pemula, dan risiko kerugian dapat diperkecil dengan adanya jaminan keamanan oleh penegak hukum, maka silakan adakan kampanye di sekolah dengan batasan persyaratan jaminan yang ketat oleh pihak berwenang,” kata Ketua Tim Kajian Hukum FSGI, Guntur Ismail.
Pilihan Editor: Bahlil hingga Andi Widjajanto Hadir di PPKMB UNS 2023, Diikuti 10.291 Maba