TEMPO.CO, Jakarta - Cuaca panas akibat gelombang panas di berbagai belahan dunia, khususnya Asia diperkirakan akan berlangsung sepanjang Agustus, kata seorang penasihat panas ekstrem pada Jumat, 21 Juli 2023. Meskipun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut gelombang panas tak melanda Indonesia, tetapi suhu maksimum udara permukaan di Tanah Air tergolong panas.
Lantas, apa saja dampak dari cuaca panas ekstrem?
Nilai pelajaran lebih rendah
Menurut situs Organisasi Penyiaran Radio Amerika Serikat (NPR), para peneliti di Boston pernah mempelajari kemampuan berpikir mahasiswa yang tinggal di asrama perguruan tinggi selama gelombang panas pada 2016. Beberapa suhu kamar diatur dengan udara sejuk sebesar 71 derajat Fahrenheit (21,6 derajat Celcius), sedangkan yang lainnya tidur di kamar tanpa AC dengan suhu sekitar 80 derajat Fahrenheit (26,6 derajat Celcius).
Setiap pagi selama hampir dua minggu, mahasiswa mengikuti beberapa tes melalui ponsel. Tes tersebut termasuk penyelesaian soal-soal matematika berupa penjumlahan dan pengurangan sederhana, serta tes Stroop yang menggabungkan warna dan kata. Orang-orang yang tidur di kamar asrama yang lebih panas memiliki hasil tes jauh lebih buruk.
“Jadi, jika saya menunjukkan kata ‘merah’ dengan warna biru, peserta harus menjawab ‘biru’,” kata peneliti sekaligus asisten profesor di Rutgers School of Public Health, Jose Guillermo Cedeno Laurent.
Menurut Jose, cuaca panas membuat reaksi otak melambat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa waktu respons dan akurasi menjawab soal dari mahasiswa yang tinggal di asrama bersuhu panas menurun hingga 10 persen.
Suhu panas dalam ruangan menyebabkan gangguan tidur pada mahasiswa. Mereka akan sulit untuk mendapatkan istirahat malam yang baik sehingga dapat mengganggu respons otak dan konsentrasi.
Produktivitas pekerja menurun
Studi serupa juga pernah dilakukan pada Juli sampai Agustus 2020 oleh para peneliti dari Shanghai Jiao Tong University dan Technical University of Denmark (DTU). Hasilnya, terjadi penurunan kognitif pekerja kantoran di Shanghai yang bekerja pada suhu udara 79 derajat Fahrenheit (26,1 derajat Celcius).
Para peneliti menemukan, ketika suhu meningkat, aktivitas sistem saraf parasimpatik yang menjadi sistem anti-stres performanya akan menurun. Ditambah lagi, tingkat saturasi oksigen dalam darah juga lebih rendah pada suhu tinggi. Sehingga, cuaca panas diperkirakan dapat mengakibatkan penurunan kinerja kognitif.
Seorang dokter sekaligus menjabat sebagai direktur solusi perawatan kesehatan di Harvard Chan Center for Climate, Health and Global Environment, Caleb Dresser mengemukakan bahwa suhu panas dapat memengaruhi manusia dengan cara yang kadang tidak terlihat. “Semua (penelitian) itu tampaknya menampilkan berkurangnya kemampuan untuk berpikir jernih, cepat, dan efisien saat tubuh terlalu panas,” kata dia.
Mudah alami penyakit mental
Riset lain yang dilakukan oleh peneliti dari Faculty of Physical Education and Health, University of Toronto, Kanada mengungkapkan bahwa cuaca panas dapat membuat seseorang menjadi lebih murung atau jengkel. Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan kadar hormon kortisol yang memicu respons stress.
Lebih lanjut, Dresser mengacu pada hasil studi yang diterbitkan di JAMA Psychiatry pada 2022 menemukan bahwa kunjungan ke Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit karena kondisi mental meningkat selama cuaca panas.
“Saya pikir ini konsisten dengan apa yang akan dikatakan oleh banyak dokter jika mereka bekerja selama kondisi panas. Kesehatan mental menjadi perhatian sepanjang waktu, tetapi bisa menjadi fokus utama yang jauh lebih besar selama cuaca panas,” kata Dresser.
MELYNDA DWI PUSPITA
Pilihan Editor: BMKG: Terjadi Hujan di Berbagai Wilayah, Banjarmasin dan Pontianak Diselimuti Asap