TEMPO.CO, Jakarta - Kuliah di Kedokteran menjadi cita-cita Rahmat sejak kecil. Asa itu sudah membuncah sejak dia duduk di bangku sekolah. Alasannya, sebagai pemuda desa, dia ingin membangun daerahnya dan saat itu masih jarang yang berprofesi dokter. Rahmat berasal dari Dusun Lombongan, sebuah dusun terpencil di bagian selatan Provinsi Sulawesi Barat.
Jalan meraih cita itu sempat terbuka saat ada kesempatan mendapat beasiswa kuliah Kedokteran di Chna. “Tapi saya batal berangkat karena covid-19 mendera dan Cina saat itu adalah pusatnya. Beruntung ada MOSMA Kemenag. Batal ke Cina, saya dapat kesempatan kuliah ke Amerika,” ujar Rahmat pada Kamis, 24 Agustus 2023 dilansir dari situs Kementerian Agama.
Bisa menjajal kuliah di Amerika tak terpikirkan oleh Rahmat. Kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan. Ibunya seorang petani sekaligus ibu rumah tangga, sedang bapak seorang pensiunan guru agama sekaligus seorang nelayan.
Saat lulus SMP, Rahmat melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlas Lampoko. Lokasi pesantren ini berjarak sekitar 75 km dari desanya. Lembaga pendidikan keagamaan khas Indonesia ini memiliki banyak alumni yang kuliah di berbagai perguruan tinggi.
Saat itu, cita-citanya untuk menjadi dokter masih membumbung tinggi. Sadar memiliki banyak keterbatasan, Rahmat berusaha lebih keras. Dia belajar lebih giat agar bisa mengejar teman-temannya. Selama di pesantren, dia juga belajar berorganisasi.
“Alhamdulillah, enam tahun mondok, saya menjadi lulusan terbaik. Ini tentu menjadi kebanggaan untuk seorang anak desa,” sebutnya.
Tak Lolos Kuliah Kedokteran
Mimpi menjadi seorang dokter makin menguat. Rahmat mendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2018 di Universitas Hasanuddin. Namun, dia tidak lulus pada pilihan prodi Kedokteran, tetapi di departemen Mechanical Engineering.
Meski kecewa, Rahmat memilih untuk tetap maju. Berjalan dua semester di Unhas, Rahmat sadar bahwa jurusan sekarang bukan yang diimpikan. Dia lalu kembali mendaftar Kedokteran di berbagai jalur masuk perguruan tinggi negeri. Hasilnya sama, dia selalu ditolak.
Jenuh mendera, ide iseng muncul tak terduga. Rahmat daftar kedokteran di luar negeri, yaitu Cina. Mujur, Rahmat dinyatakan lulus pada salah satu universitas di Cina untuk program MBBS dengan beasiswa tuition fee dari pemerintah di sana.
MBBS adalah singkatan dari Bachelor of Medicine and Bachelor of Surgery. Program ini memberikan kualifikasi kedokteran umum dan bedah sekaligus pada akhir program.
Rahmat senang bisa diterima di sana. Namun, dia terbayang biaya transportasi dan ongkos hidup selama kuliah di Cina yang pasti mahal. Rahmat lalu mencari jalan agar tetap bisa mengambil kesempatan yang telah diberikan. Sayang, setelah jalan itu didapat, Covid-19 merajalela sehingga dia tetap tidak bisa berangkat. Apalagi, Cina saat itu menjadi pusat penyebaran Covid 19.
Jalan meraih mimpi menjadi seorang dokter kembali terjal. Rahmat sempat berpikir untuk menyerah dan kembali ke desa. Tapi, orang tua dan saudara terus mendorong agar dia tetap kuliah.
Pada 2021, Rahmat daftar kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang relatif masih baru. Kampus itu adalah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Majene yang baru beroperasi empat tahun. Dengan jarak hanya 45 km, Rahmat memilih tinggal di rumah agar bisa menemani ayah dan ibu yang semakin menua.
Rahmat belajar di prodi Tadris Bahasa Inggris. Gagal menjadi dokter, dia ingin menjadi pendidik dan dapat mengembangkan bidang pendidikan di daerahnya. Proses kuliah dijalani dengan serius, dengan target IPK harus 3,9 ke atas. Beragam organisasi dan ajang kompetisi juga diikuti.
Selain aktif di kampus, Rahmat juga aktif sebagai volunteer guru mengaji di Rumah Qur'an Moloku yang letaknya tidak jauh dari kampus. Lembaga ini membina sekitar 100 santri untuk belajar membaca dan menghafal Al-Qur'an.
Raih Beasiswa ke Amerika
Rahmat juga belajar berbisnis. Keterbatasan ekonomi menuntut dirinya untuk lebih kreatif agar bisa mendapat penghasilan tambahan. Hobi membuat handcraft coba dikembangkan menjadi ladang bisnis dengan nama "AdeeraGift". Dia menyediakan jasa atau layanan membuat parsel, buket, mahar, dan handcraft lainnya.
“Alhamdulillah, usaha yang aku jalankan bisa membantu membiayai kebutuhanku dan mengurangi beban orang tua dan kakaku yang ada di desa. Karena di kampus, aku tidak mendapatkan beasiswa,” katanya.
Di tengah beragam aktivitas yang dijalani, termasuk menjadi volunteer di salah satu NGO, Rahmat mendapat informasi ada program beasiswa bernama MOSMA Kementerian Agama. Dia mendapat informasi ini dari dosennya di prodi Tadris Bahasa Inggris.
MORA Overseas Student Mobility Awards (MOSMA) merupakan salah satu program implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka. MOSMA berbentuk program mobilitas fisik yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar di perguruan tinggi luar negeri selama 1 semester dengan durasi maksimal 6 bulan. Melalui program ini, mahasiswa mendapatkan kredit yang dapat dikonversi ke dalam SKS (Satuan Kredit Semester) di kampus asal.
Kesempatan ini tidak Rahmat sia-siakan. Dia bertekad untuk meraih kembali kesempatan kuliah di luar negeri.
“Aku tidak berharap banyak sebetulnya, mengingat persiapanku tidak semaksimal biasanya. Berkat doa dan dukungan berbagai pihak, Alhamdulillah aku lulus dengan negara tujuan Amerika Serikat,” lanjutnya.
Rahmat bersyukur karena akses kuliah di luar negeri kini terbuka dan bisa diikuti siap saja. Rahmat berharap program ini tidak hanya memberikan manfaat untuk dirinya, tapi juga sesama generasi muda di seluruh daerah Indonesia.
“Dari mana kita berasal, di mana kita belajar, status ekonomi kita apa, semua itu tidaklah menjadi alasan bagi kita untuk tidak berprestasi," katanya.
Pilihan Editor: ICEL Kembangkan Mata Kuliah Hukum Perubahan Iklim dengan 9 Universitas