TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Gadjah Mada atau UGM menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan institusi pendidikan atau kampus menjadi tempat kampanye bagi para kandidat calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 sebagai langkah yang baik. Putusan itu akan menjadi sarana kampus berperan membawa demokrasi lebih bermakna melalui arena pemilu.
"Keputusan MK ini kan sebetulnya hanya menjadi dasar hukum. Sekarang tantangannya adalah bagaimana kreativitas kampus. Kami di UGM pasti akan memungkinkan itu dikerjakan," kata Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM Arie Sujito, Kamis, 31 Agustus 2023.
Putusan Majelis Hakim MK nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dikeluarkan pada Selasa, 15 Agustus 2023 memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus). Kampanye politik itu dibolehkan sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye.
Menurut Arie, aturan yang memperbolehkan kampanye di kampus perlu dimaknai dalam kerangka pendidikan politik. Mengingat kampus sebagai lembaga akademik juga memiliki peran sebagai pilar demokrasi.
"Kan kampus itu sebagai pilar demokrasi juga. Sebagai pilar demokrasi dia harus punya peran di dalam memanfaatkan satu episode yang disebut dengan pemilu," ujar Sosiolog UGM ini.
Selama ini, Arie menilai banyak pihak yang fobia dengan istilah kampanye dan menganggapnya sebagai ancaman bagi stabilitas kampus. Menurut dia, kesan semacam itu dimunculkan lantaran banyak parpol atau politisi yang cenderung lebih memilih menggunakan sarana baliho atau alat peraga lainnya dalam berkampanye.
Dalam konteks pendidikan politik, Arie mengatakan kampus memiliki peran memberi bekal bagi publik, termasuk mahasiswa. Di kampus, kampanye bisa diformulasikan dalam bentuk debat, dialog, diskusi atau membangun argumen antar-masing-masing kandidat.
"Kampanye itu tidak harus pakai model lama yang konvensional. Dia bisa berdebat, berdiskusi, membahas topik-topik tertentu secara tematik," ujar Arie.
Arie menilai debat yang digelar di kampus dapat menutup peluang masing-masing kandidat menggunakan data hoaks untuk berkampanye. Melalui sarana itu pula, publik dapat menilai kandidat mana yang memiliki komitmen, rekam jejak serta bagaimana cara menjawab atau merespons setiap persoalan.
"Orang kalau mengumpat kan ketahuan oh ini hoaks, jangan nunggu Bawaslu melaporkan publik sudah tahu, karena ukurannya bukan soal pasal tapi ukurannya adalah etik," kata Arie.
Meski begitu, Arie mengatakan perguruan tinggi perlu menyepakati aturan. Misalnya formatnya dalam bentuk dialog atau debat dengan tanpa disertai adanya alat peraga kampanye serta disiarkan secara langsung melalui media sosial masing-masing kampus. KPU serta Bawaslu juga perlu hadir dalam setiap gelaran kampanye yang dikemas dalam bentuk debat atau dialog tersebut.
"Tidak usah pakai alat peraga yang menciptakan sentimen yang berlebihan, kemudian jangan hanya dengan jargon-jargon, ngomong teriak-teriak begitu tapi bicara soal tematik tertentu soal energi, soal pangan, soal pendidikan, soal integrasi nasional, soal teknologi atau lainnya," kata Arie.
Pilihan Editor: Muhadjir Effendy Imbau Sekolah Tak Dijadikan Tempat Kampanye