TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa Barat Rakhmat Prasetia mengatakan, meski fenomena El Nino memberikan dampak yang siginifikan terhadap musim kemarau 2023 di Jawa Barat, tidak berarti El Nino akan membuat curah hujan menjadi kecil di musim hujan. “Karena kita mau masuk musim hujan, angin baratan sudah mulai masuk,” katanya, Kamis 2 November 2023.
Rakhmat mengatakan musim di Indonesia dipengaruhi oleh monsun Asia dan Australia yang bergantian setiap tahun. Masalahnya, kata dia, El Nino kali ini hadir di awal dan tengah tahun berbarengan dengan puncak musim kemarau. “Tahun ini dibarengi gangguan dinamis, yaitu El Nino, sehingga makin membuat hujan semakin berkurang,” ujarnya.
Kondisi ekstrem El Nino bersamaan dengan musim kemarau terjadi pada Juni sampai Agustus lalu. Namun, kini terlihat sudah mulai hujan di Bogor, Bandung, dan beberapa daerah lain di Jawa Barat. “Angin sudah mau berbalik dari timuran ke baratan yang identik dengan musim hujan,” kata dia.
Akibat lain dari El Nino adalah membuat musim hujan terlambat hadir. Biasanya, menurut Rakhmat, musim hujan di Jawa Barat dimulai September hingga Oktober. “Karena El Nino jadi terlambat di November,” kata dia.
Dari hasil model pengamatan BMKG, fenomena El Nino masih akan berlangsung hingga awal 2024. Namun secara regional ada pengaruh monsun Asia sehingga keringnya tidak akan sampai awal 2024.
El Nino merupakan fenomena pemanasan suhu permukaan laut di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah. Akibatnya potensi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah meningkat sementara curah hujan di wilayah Indonesia menjadi berkurang. El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan di wilayah Indonesia.
Sementara peneliti di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan mengatakan, kawasan barat Indonesia seperti Sumatra, termasuk Jawa Barat, lebih didominasi oleh fenomena Indian Ocean Dipole atau IOD, yaitu perbedaan suhu permukaan laut antara wilayah di Laut Arab atau Samudra Hindia bagian barat dan Samudra Hindia bagian timur di selatan Indonesia.
IOD negatif identik dengan musim basah di kawasan barat Indonesia, dan sebaliknya. Saat IOD positif, awan-awan yang ada di kawasan barat Indonesia akan bergeser menuju pusat tekanan rendah berada, yaitu di pantai timur Afrika. Sejak Mei lalu, kata Eddy, IOD merangkak ke positif. “Artinya tidak ada indikasi kawasan barat Indonesia ini basah,” ujarnya.
Berdasarkan data Oktober lalu dari Predictive Ocean Atmosphere Model for Australia (POAMA), menurut Eddy, puncak IOD positif itu pada November 2023. Pada saat puncaknya itu, fungsi IOD adalah mendukung El Nino. “Artinya kawasan barat Indonesia masih akan mencapai puncak kemaraunya itu November,” kata dia.
Setelah puncak IOD pada November, IOD tidak lagi mendukung El Nino. Artinya kekuatan El Nino melemah. IOD baru akan memasuki fase netral kemungkinan pada akhir Februari 2024.
Hujan di kawasan barat Indonesia saat ini dari awan-awan yang bergerak ke kawasan pantai timur Afrika. Sementara angin baratan yang menjadi penanda musim hujan dari hasil analisa data POAMA, dinilai tidak cukup kuat karena IOD saat November masih menunjukkan eksistensinya.
Sedangkan ketika IOD dalam posisi netral pada akhir Februari atau Maret 2024, posisi matahari sudah meninggalkan bumi selatan atau ekuator. Jadi pusat tekanan udaranya tidak lagi di selatan Indonesia. “Hasilnya andaikan hujan, itu paling hanya rintik-rintik, gerimis. Jadi tidak mungkin awal 2024 terjadi banjir seperti di Jakarta pada awal 2020.”
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.