TEMPO.CO, Jakarta - Sudah hampir tiga bulan, Mohammed Albohisi, 23 tahun, tinggal di Indonesia. Mohammed yang berasal dari Gaza itu tahun depan akan menjalani studi S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Bioteknologi dengan konsentrasi Bioteknologi Kesehatan. Kini, Mohammed masih menjalani kursus bahasa Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya UGM. "Saya mengambil kursus bahasa selama satu tahun, sebagai bagian dari program Beasiswa KNB (Kemitraan Negara Berkembang)," katanya kepada Tempo pada Senin, 6 November 2023.
Beasiswa KNB merupakan program beasiswa yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia kepada pelamar terpilih dari negara berkembang. Program ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Kementerian Pendidikan. Sejak 2006, beasiswa ini telah disalurkan kepada 1.608 penerima dari 97 negara.
Mohammed berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah. Ayah Mohammed merupakan pensiunan akuntan dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Mohammed merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Keempatnya memiliki pendidikan yang baik. Ketiga saudaranya bekerja sebagai arsitek, dokter gigi, dan guru.
Hal itu tak lepas dari peran orang tua Mohammed yang amat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sang ayah merupakan lulusan akuntansi dan ibunya lulusan ilmu sejarah. "Orang tua saya menjaga pendidikan kami dengan cara yang ketat dan kami mendapatkan hasilnya sekarang, terutama ibu saya yang sangat ketat. Jadi sejujurnya, kami menciptakan peluang dengan kerja keras atau kami tidak akan bisa mencapai semua ini," katanya.
Mohammed bercerita biaya pendidikan sekolah di Gaza gratis. Begitu masuk ke pendidikan tinggi, ia dan saudaranya mencari peluang beasiswa. Ia sendiri menjalani studi S1 di Osmania University, India dengan beasiswa Indian Council for Cultural Relations (ICCR). Sama halnya dengan jenjang magister yang mendapatkan beasiswa penuh.
"Memang tidak mudah, tetapi sebagian besar saudara saya berhasil mendapatkan beasiswa karena prestasi akademik mereka yang cemerlang. Saya sendiri mengambil S1 dengan beasiswa ICCR di India yang didanai sepenuhnya," ujarnya.
Mohammed adalah seorang yang aktif secara sosial dan berprestasi sejak sekolah. Ia lulus dari sekolah menengah atas dengan nilai 95. Ia mengatakan di Palestina, nilai tersebut sangat sulit untuk didapatkan karena hanya 50 sampai 60 siswa nasional yang mendapatkan nilai lebih dari 90.
Bahkan, pada masa kuliah sarjana, Mohammed juga aktif mengukir prestasi. Ia mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seperti seminar, webinar, hingga diskusi kemanusiaan atau budaya. Ia meraih banyak penghargaan dalam kompetisi budaya dan bahasa Arab. Mohammed menyelesaikan studi S1 dengan predikat dengan pujian dan indeks prestasi kumulatif mencapai 3,90.
Pilih Indonesia karena Keberagaman Budaya
Ia melabuhkan pilihannya pada UGM karena kampus ini salah satu universitas terbaik di Indonesia dan berkelas dunia. Kampus yang berdiri pada 1949 itu, kata Mohammed, sangat terbuka bagi mahasiswa asing seperti dirinya. "(UGM) memiliki lingkungan internasional yang mendukung kreativitas. Metode pengajarannya modern dan terkini," katanya.
Mohammed mengikuti kursus selama dua sampai tiga jam sehari. Ia belajar bahasa Indonesia dan budaya lokal juga. Meskipun dengan jadwal yang padat, namun kata Mohammed para dosen yang mengajar sangat ramah dan mendukung mereka.
Dia bercerita keberagaman latar belakang mahasiswa di UGM menjadi tantangan baginya untuk belajar bahasa Indonesia. "Jadi, mereka memiliki logat yang berbeda dan terkadang seru untuk berkomunikasi dengan orang lokal. Belum lagi di pasar, kami bingung antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia," ujarnya.
Mohammed mengungkapkan alasannya memilih Indonesia sebagai negara tujuan studi magisternya. Menurut Mohammed, Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman suku dan budaya. "Teman sekamar saya selama kuliah S1 di India berasal dari Indonesia, sehingga membantu saya untuk mengetahui budayanya. Saya juga aktif dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Delhi," ujarnya.
Rencana untuk kuliah di Indonesia telah ada di dalam hati Mohammed sejak kuliah di India. Ketika lulus pada 2022, dia tak bisa langsung melanjutkan kuliah S2 karena pandemi Covid-19. Pada 2023, dia mencoba beasiswa KNB dan lolos.
"Sejujurnya, saya tidak merasa kesulitan untuk beradaptasi di Indonesia. Apresiasi terbesar saya berikan kepada UGM karena membuat segalanya mudah bagi kami dan memberikan sambutan yang sangat hangat. Kami merasa seperti di rumah sendiri," ucap Mohammed.
Baginya, Yogyakarta adalah kota yang tidak terlalu ramai atau berisik. Kotanya kecil, memungkinkan orang-orang untuk dapat saling mengenal. Di samping itu, biaya hidup di kota ini ini juga terbilang murah.
Tak butuh waktu lama bagi Mohammed untuk menyukai hal-hal tentang Indonesia yang ia temui di kota pelajar. Mulai dari makanan, budaya, hingga musik tradisional. Ia bahkan mengunjungi Saung Angklung Udjo di Yogyakarta. "Saya pergi ke (saung) Udjo juga, karena saya tertarik pada jenis musik ini," ungkapnya.
Mohammed dan temannya sesama penerima beasiswa KNB juga belajar tentang sejarah dan budaya melalui perjalanan ke museum. Selain itu, mereka juga mempelajarinya secara mandiri. "Kami juga belajar sedikit bahasa Jawa untuk beradaptasi di Yogjakarta, karena lebih menghormati budaya dan orang-orangnya, terutama yang lebih tua," ucap Mohammed.
Ingin Kembangkan Bioteknologi di Negaranya
Di tengah situasi pembantaian yang dilakukan Israel saat ini di Gaza, Mohammed masih memiliki angan untuk kembali ke negaranya. Dia berharap dapat membangun dan mengembangkan bioteknologi di Palestina.