Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tanah Liat Memperlambat Laju Perubahan Iklim

Reporter

Editor

Avit Hidayat

image-gnews
Anak lelaki asal Palestina, Jamal Fakhori bekerja di bengkel ayahnya dalam membuat pot tanah liat di kota Jaba dekat Jenin, di Tepi Barat, Palestina, 1 Mei 2018 REUTERS/Raneen Sawafta
Anak lelaki asal Palestina, Jamal Fakhori bekerja di bengkel ayahnya dalam membuat pot tanah liat di kota Jaba dekat Jenin, di Tepi Barat, Palestina, 1 Mei 2018 REUTERS/Raneen Sawafta
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) beberapa tahun belakangan kian cemas dengan meningkatnya sumbangan emisi gas rumah kaca dari negara-negara berkembang. Mereka lantas melakukan segala upaya untuk menahan laju perbahan iklim. Mulai dari penerapan perdagangan karbon internasional, kewajiban pelaporan emisi nasional, hingga pendanaan aksi iklim di negara-negara berkembang.

Penelitian ihwal pengurangan emisi karbon juga tak kurang banyaknya sebagai upaya penyelamatan bumi. Baru-baru ini, Associate Professor Teknik Sipil dan Lingkungan pada Northwestern Engineering Ludmilla Aristilde menemukan solusi berbasis tanah untuk memperlambat perubahan iklim. “Jumlah karbon organik yang tersimpan di tanah sekitar 10 kali lipat dari seluruh karbon di atmosfer,” kata Aristilde seperti dikutip dari Northwestern University pada Ahad, 11 Februari 2024.

Aristilde menjelaskan, tanah merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di bumi. Dapat menyimpan 2.500 miliar ton karbon, nomor dua setelah lautan. Aristilde dan timnya lantas meneliti lebih jauh fungsi tanah liat smektit—sejenis mineral lempung yang diketahui menyerap karbon di tanah alami—untuk diperiksa bagimana permukaan mineral terikat pada sepuluh biomolekul berbeda. Misalnya terhadap asam amino, selulosa yang terkait dengan gula, dan asam fenolik yang terkait dengan lignin, dengan kimia dan struktur bervariasi.

“Kami memutuskan untuk mempelajari mineral tanah liat ini karena mineral ini ada di mana-mana,” kata Aristilde. “Hampir semua tanah mengandung mineral lempung. Selain itu, tanah liat banyak ditemukan di daerah beriklim semi-kering dan sedang – wilayah yang kita tahu akan terkena dampak perubahan iklim.”

Temuan baru ini dapat membantu para peneliti memprediksi sifat kimia tanah mana yang paling cocok untuk memerangkap karbon. Kata Aristilde, ini menjadi solusi berbasis tanah untuk memperlambat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Caranya adalah—penggabungan eksperiman laboratorium dan pemodelan molekuler—para peneliti menguji interaksi antara biomolekul karbon organik dan sejenis mineral tanah liat.

Penelitian tersebut menemukan muatan elektrostatis, fitur struktural molekul karbon, nutrisi logam di sekitar tanah, dan persaingan antar molekul, semuanya memainkan peran utama dalam kemampuan tanah untuk menjaga karbon. “Ada banyak upaya untuk menjaga karbon tetap terperangkap agar tidak masuk ke atmosfer. Jika kita ingin melakukan hal tersebut, pertama-tama kita harus memahami mekanisme yang berperan.”

Aristilde selanjutnya merencanakan pengujian bagaimana biomolekul berinteraksi dengan mineral di tanah yang ditemukan di daerah beriklim tropis. Terutama melihat cara tanah liat di wilayah hangat memerangkap bahan organik. “Jika kita ingin menjaga karbon tetap terperangkap di dalam tanah, maka kita perlu memahami bagaimana karbon tersebut tersusun dan bagaimana susunan ini mempengaruhi akses terhadap mikroba,” ucap Aristilde.

Baca: Pentingnya Proteksi Hutan untuk Mengatasi Emisi Karbon

Menteri Lingkungan Hidup periode 1978-1993, Emil Salim, menyatakan bahwa Indonesia memiliki hutan gambut dan mangrove yang teridentifikasi sebagai penyumbang karbon terbesar. Ini lantaran gambut dan bakau mampu memberi perlindungan dari ancaman lingkungan serta mampu menyerap karbon secara efektif. “Ekosistem yang ada harus dipertahankan keasliannya,” kata Emil dalam acara Indonesia Forest Forum 2023 yang diselenggarakan Tempo Media Group.

World Argoforestry Centre sempat menerbitkan laporan ihwal gambut yang menyimpan karbon paling besar. Misalnya hutan gambut, akan bertahan dalam bentuk bahan organik. Adapun bila hutan gambut telah dibuka, maka karbon yang disimpan akan mudah terdekomposisi dan menghasilkan karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca terpenting. Hal ini juga yang menyebabkan lahan gambut rentan kebakaran.

Proses dekomposisi, konsolidasi, dan kebakaran mengakibatkan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence) atau kehilangan fungsinya sebagai penyangga. Dampaknya yakni menciptakan emisi gas rumah kaca. Pemerintah menekan laju emisi melalui skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD+). Di dalamnya berisi sistem dokumentasi, pelaporan, dan verifikasi perubahan cadangan karbon secara transparan.

Baca: Hutan Solusi Terbaik Penyerap Karbon

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Suhu Bumi Terpanas pada April 2024

4 hari lalu

Ilustrasi gelombang panas ekstrem.[Khaleej Times/REUTERS]
Suhu Bumi Terpanas pada April 2024

Sejak Juni 2023, setiap bulan temperatur bumi terus memanas, di mana puncak terpanas terjadi pada April 2024.


Cegah Krisis Iklim, Muhammadiyah Luncurkan Program 1000 Cahaya

5 hari lalu

Sisifus. Ilustrasi TEMPO/Imam Yunianto
Cegah Krisis Iklim, Muhammadiyah Luncurkan Program 1000 Cahaya

Program ini berupaya membangun 'Green Movement' dengan memperbanyak amal usaha Muhammadiyah untuk mulai memilah dan memilih sumber energi bersih di masing-masing bidang usaha.


Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

9 hari lalu

Petugas Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat thermometer pengukur suhu udara di Taman Alat Cuaca BMKG Jakarta, Rabu, 11 Oktober 2023. BMKG memprediksi musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia akan berlangsung hingga akhir Oktober dan awal musim hujan terjadi pada awal November 2023. Tempo/Tony Hartawan
Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

Suhu panas yang dirasakan belakangan ini menegaskan tren kenaikan suhu udara yang telah terjadi di Indonesia. Begini data dari BMKG


Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

10 hari lalu

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (27/2/2024). ANTARA.
Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

Inisiatif ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia untuk menjadi lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim.


Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

11 hari lalu

Foto handout yang disediakan oleh Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (BASARNAS) menunjukkan asap dan abu erupsi Gunung Ruang dilihat dari desa Tagulandang, Sulawesi Utara, Indonesia, 19 April 2024. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( PVMBG) Kementerian ESDM melaporkan Gunung Ruang di Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara, meletus pada 16 April malam. Akibat letusan Gunung Ruang, 272 KK atau sekitar 828 jiwa dievakuasi. EPA-EFE/BASARNAS
Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

Artikel soal kerusakan alat pemantau erupsi Gunung Ruang menjadi yang terpopuler dalam Top 3 Tekno hari ini.


Pusat Riset Iklim BRIN Fokus Teliti Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pembangunan

12 hari lalu

Suasana Kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Pusat Riset Iklim BRIN Fokus Teliti Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pembangunan

Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN fokus pada perubahan iklim yang mempengaruhi sektor pembangunan.


22 Ribu Hektare Lahan Sawit PT SCP Diduga Berada dalam Kawasan Hutan, Kerap Memicu Kebakaran

12 hari lalu

Perkebunan kelapa sawit di area konsesi PT Suryamas Cipta Perkasa yang terindikasi masuk ke dalam kawasan hutan di Desa Paduran Sebangau, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dilihat dari atas pada Kamis, 21 Desember 2023. TEMPO/Riani Sanusi Putri
22 Ribu Hektare Lahan Sawit PT SCP Diduga Berada dalam Kawasan Hutan, Kerap Memicu Kebakaran

22 ribu hektare perkebunan sawit PT Suryamas Cipta Perkasa (PT SCP) masuk kawasan hutan hidrologis gambut di Kalimantan Tengah.


Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

13 hari lalu

UNDP, WHO dan Kemenkes kolaborasi proyek yang didanai oleh Green Climate Fund (GCF) untuk waspadai dampak Perubahan Iklim di bidang Kesehatan/Tempo- Mitra Tarigan
Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

Kemenkes, UNDP dan WHO kolaborasi proyek perkuat layanan kesehatan yang siap hadapi perubahan iklim.


Peneliti BRIN Pertanyakan Benih Padi Cina Mampu Taklukkan Lahan Kalimantan

13 hari lalu

Persawahan Food Estate Blok A, Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah siap menggelar panen raya.
Peneliti BRIN Pertanyakan Benih Padi Cina Mampu Taklukkan Lahan Kalimantan

BRIN sampaikan bisa saja padi hibrida dari Cina itu dicoba ditanam. Apa lagi, sudah ada beberapa varietas hibrida di Kalimantan. Tapi ...


Pertamina International Shipping Catat Penurunan Emisi Karbon 25.445 Ton

15 hari lalu

Kapal Gas Arjuna milik PT Pertamina International Shipping (PIS). Dok. Pertamina
Pertamina International Shipping Catat Penurunan Emisi Karbon 25.445 Ton

PT Pertamina International Shipping mencatat data dekarbonisasi PIS turun signifikan setiap tahun.