Agung menduga KPU menggunakan layanan hosting di tempat seperti Alibaba, Google, atau Amazon. Dugaan itu terkait dengan potensi server KPU yang bisa diakses oleh pengguna ponsel dan internet di Indonesia yang berjumlah 200 juta orang lebih dalam waktu bersamaan, serta warga global.
“Jadi sewa sekian hari atau sebulan supaya ketika beban yang mengakses besar sekali, server tidak down,” ujarnya yang menilai tak efisien secara pendanaan jika KPU membeli sendiri server dengan kapasitas besar untuk pemakaian beberapa hari.
Hacker atau Orang Dalam?
Penelusuran kesalahan data ribuan TPS itu, menurut Agung, perlu ditelusuri hingga ke cloud atau komputasi awan. Alasannya, cloud bisa menjadi pintu bagi hacker atau cracker masuk ke sistem.
Faktor lain bisa dari developer, kemudian di sisi back end ada bagian administrasi yang terbagi-bagi. “Biasanya database admin sendiri, kemudian admin aplikasi, dan admin jaringan sendiri,” kata dia.
Kebocoran di bagian back end ini, dijelaskan Agung, dimungkinkan secara ilmu keamanan data. Dia menyebut istilah back door di mana ada orang yang bisa masuk ke sistem informasi KPU kemudian melakukan pengubahan. Pelakunya bisa pihak luar seperti hacker atau orang dalam.
“Karena menurut penelitian CIA memang paling mudah kaitannya dari dalam. Tapi dari dalam ini pun perlu dijelaskan juga, bisa disengaja atau tidak,” kata dia.
Secara sepintas, pengubahan data itu belum bisa disimpulkan. Jika KPU melakukan evaluasi, kemudian mengumumkan apa yang sesungguhnya terjadi, upaya itu dinilainya sebagai upaya minimal yang baik.
“Tidak cukup minta maaf," katanya sambil menambahkan, "Berikutnya apa yang dilakukan, diperbaiki, dari sisi aplikasi front end dan back end apa yang diperbaiki?”
Pilihan Editor: Sampah Kampanye Pemilu di Jakarta Menunggu Dicacah di Gudang Seluas 2 Lapangan Futsal