TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) memastikan proses terjadinya pusaran angin kencang di Rancaekek pada 21 Februari 2024 sama seperti tornado. Menurut anggota tim riset dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer ITB Nurjanna Joko Trilaksono, kesamaan itu dari sisi syarat, proses, dan ciri-ciri kejadian seperti muncul awan corong atau belalai yang terlihat serta debu-debu yang berterbangan di permukaan. “Utamanya ada awan Cumulonimbus sebagai pemicunya,” kata Dosen Program Studi Meteorologi ITB itu, Jumat 1 Maret 2024.
Dari video yang diperoleh warga terlihat pusaran berwarna putih dari awan Cumulonimbus yang gelap dengan bentuk seperti corong atau belalai. Pusaran di langit itu berhubungan atau tersambung dengan pusaran angin di permukaan walau tidak terlihat. “Putarannya tetap ada itu yang menjadi ciri khas tornado,” ujar Joko. Walau begitu tim riset ITB menghargai pemakaian istilah puting beliung oleh lembaga yang punya otoritas seperti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Joko mengatakan, pusaran angin di Rancaekek tergolong tornado yang lemah atau kecil. Menurutnya kejadian angin kencang itu tidak luar biasa dan sudah sering terjadi di Indonesia. “Tapi yang di Rancaekek ini lebih luas dampaknya,” kata dia. Tim riset dibantu mahasiswa melakukan survei di lokasi kejadian. Luas area kerusakan mencapai 305 hektare dengan lebar 516 meter. Tipe-tipe kerusakan yang terjadi mulai dari atap yang hilang, bangunan roboh, dan pohon tumbang.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung, putting beliung itu berdanpak terhadap sedikitnya 493 unit rumah yang dihuni 422 keluarga atau 1.359 jiwa. Sebanyak 21 orang terluka dan nihil korban jiwa. Rumah yang rusak ringan 223 unit, rusak sedang 119, dan rusak berat 151 unit. Selain rumah, tercatat 18 bangunan pabrik dan toko terdampak angin kencang pada Rabu, 21 Februari 2024 itu.
Joko menambahkan, diperkirakan durasi tornado di Rancaekek sekitar 30 menit dengan kekuatan yang beragam. Dari penyusuran bangunan yang rusak terdampak tornado, jalur lintasan pusaran angin dimulai dari Desa Cinta Mulya melintasi Desa Sukadana, lalu berakhir di sekitar pertokoan Borma Rancaekek. Bentuk jalur lintasan tornado itu melengkung, tidak seluruhnya sejajar dengan jalan raya.
Adapun jarak di peta antara lokasi titik awal tornado dan titik akhirnya jika melintasi jalur jalan raya sekitar 3,7 kilometer. Kecepatan rambat tornado itu sekitar 15 kilometer per jam. Namun begitu tim riset ITB belum mengetahui pasti berapa kecepatan pusaran anginnya. Menurut Joko, kecepatan pusaran tornado berfluktuasi sesuai energi yang diperolehnya. “Penyuplainya antara lain angin dari monsun dan perbebedaan suhu di permukaan,” ujarnya. Kekuatan tornado yang beragam itu menimbulkan dampak kerusakan yang berbeda dari ringan sampai berat di sepanjang jalur lintasan pusaran angin.
Soal diameter pusaran tornado, peneliti ITB juga belum bisa memastikan. “Informasi dari masyarakat dari gedung atau bangunan yang rusak itu mereka perkirakan jarak lebarnya sekitar 50 meter,” kata Joko. Namun keterangan itu dinilainya belum meyakinkan karena masih mengandung unsur bias yang harus dikaji ulang. Tim riset ITB masih membutuhkan citra dari udara untuk meyakinkan berapa ukuran diameter tornado di Rancaekek.
Selain itu, kata Joko, tim riset ITB belum bisa menyimpulkan memiliki bukti yang cukup untuk membuat kesimpulan apakah tornado Rancaekek akibat pengaruh perubahan iklim. “Kita perlu pengambilan data yang panjang paling tidak data 60 tahun,” ujarnya. Lagipula, perubahan iklim terjadi pada skala global sementara tornado terjadi dalam skala kecil.
ANWAR SISWADI