TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasonal (BRIN) mengembangkan metode fitoremediasi untuk mengatasi kontaminasi Sesium-137 (Cs-137), unsur radioaktif yang dihasilkan dari reaksi fisi nuklir, terhadap lingkungan.
Cs-137 mudah larut dalam air, sehingga jika mengkontaminasi lingkungan, ia akan larut dan dapat masuk ke rantai makanan maupun tubuh makhluk hidup. “Cs-137 ini berbahaya karena mobilitasnya, karena itu BRIN sedang mengupayakan bagaimana cara mengatasi kontaminasi Cs-137 di lingkungan,” ujar Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Teknologi Bahan Nuklir dan Limbah Radioaktif BRIN Gustri Nurliati melalui keterangan tertulis, Senin, 1 April 2024.
Gustri mengatakan salah satu metode remediasi Cs-137 di lingkungan adalah dengan fitoremediasi. Metode ini merupakan teknologi pengurangan, pembersihan, atau penghilangan polutan berbahaya seperti logam berat, pestisida, senyawa beracun, dan lain-lain dalam media lingkungan, tanah atau air, dengan menggunakan tanaman.
“Metode ini ramah lingkungan, karena tidak memerlukan bahan kimia berbahaya. Biaya relatif rendah, sustainable, meningkatkan estetika lingkungan, dan mengurangi risiko pencemaran lebih lanjut,” katanya.
Para peneliti BRIN telah melakukan fitoremediasi untuk mengatasi kontaminasi Cs-137. Riset fitoremediasi dilakukan dengan kontaminan sesium non-radioaktif menggunakan tanaman sorgum, akar wangi, bayam duri, dan sengon. Sementara fitoremediasi dengan kontaminan sesium radioaktif dilakukan dengan menggunakan tanaman jagung, bayam, kangkung, cabai, tomat, pare, sawi hijau, terong, dan daun singkong.
“Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan, tanaman yang tertinggi untuk transfer faktor Cs-137 adalah bayam, sedangkan yang tertinggi transfer faktor Cobalt adalah tanaman pare,” kata Gustri.
Gustri memaparkan empat prinsip dasar atau mekanisme dalam fitoremediasi, yaitu ekstraksi, volatisasi, degradasi, dan containment atau imobilisasi. Ekstraksi adalah proses penyerapan zat kontaminan dari media oleh tumbuhan. Kontaminan akan terakumulasi di sekitar akar tumbuhan, kemudian ditranslokasikan ke seluruh tubuh tumbuhan, yaitu akar, tajuk batang, dan daun.
Kemudian, volatisasi adalah proses di mana kontaminan ditransformasi oleh tanaman menjadi bentuk yang kurang toksik dan mudah menguap, kemudian akan dilepaskan ke atmosfer melalui penyerapan, jaringan tanaman, metabolisme tanaman, dan proses transpirasi.
Mekanisme selanjutnya adalah degradasi atau destruksi. Proses ini melibatkan penguraian kontaminan organik secara langsung melalui pelepasan enzim dari akar, atau melalui aktivitas metabolisme dalam jaringan tanaman. Umumnya, kontaminan organik diubah menjadi karbondioksida dan air.
Mekanisme terakhir, imobilisasi untuk zat kontaminan yang sulit didegradasi. Kontaminan ini hanya diserap oleh akar dan tetap menempel pada akar tumbuhan. Zat-zat kontaminan akan menempel erat pada akar, sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media tercemar.
Menurut Gustri, untuk menentukan jenis tanaman yang digunakan, diperlukan identifikasi mekanisme fitoremediasi dan tujuan remediasi, serta informasi lokasi seperti jenis kontaminan, konsentrasi, bentuk, tekstur tanah, salinitas, pH, kesuburan, dan kadar air.
Selain itu juga perlu identifikasi kriteria penting untuk seleksi tanaman, misalnya toleransi panas, toleransi serangga, ketahanan terhadap kekeringan, dan laju pertumbuhan atau produksi biomassa.
“Cocokkan kriteria-kriteria tersebut dengan daftar tanaman yang diusulkan. Kemudian, setelah memilih tanaman dan melaksanakan fitoremediasi, diperlukan juga proses pemantauan dan evaluasi pertumbuhan tanaman dan pemilihan tanaman,” kata Gustri.
Metode Pencucian Tanah
Peneliti PRTBNLR BRIN lainnya, Herry Wijayanto, menyampaikan metode lain untuk remediasi lahan terkontaminasi Cs-137, yaitu dengan metode pencucian tanah menggunakan washing agent berupa surfaktan kationik.
“Belajar dari pengalaman pemerintah Jepang dalam menangani kecelakaan nuklir di Fukushima pada 2011 lalu yang mengakibatkan pencemaran lingkungan di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima I, di mana tanahnya telah terkontaminasi unsur radioaktif Cs-137,” tuturnya.
“Sudah 13 tahun sejak insiden tersebut, tingkat dosis radioaktif di Fukushima telah menurun secara signifikan karena penyebaran alami dan upaya dekontaminasi,” kata dia menambahkan.
Herry mengatakan upaya dekontaminasi tersebut mengakibatkan pemerintah Jepang menyimpan material tanah terkontaminasi radioaktif dalam Interim Storage Facility (ISF) sekitar 14 juta meter kubik. “Mereka mengklasifikasikannya menjadi dua kategori,” ucap Herry.
Kategori radioaktif rendah sebesar 8000 Bacquerel per kilogram (Bq/kg) atau kurang. Kategori ini diusulkan untuk didaur ulang dengan dikembalikan ke lingkungan. Sedangkan kategori radioaktif tinggi, yaitu lebih dari 8000 Bq/kg, akan disimpan selama lebih dari 30 tahun di tempat penyimpanan lestari.
Mengingat keterbatasan ruang dan biaya penyimpanan yang dimiliki pemerintah Jepang, dibutuhkan teknologi pengurangan volume tanah. Proses yang dilakukan yaitu dengan melakukan pemisahan untuk material yang dapat dibakar dan tidak dapat dibakar.
Material yang dapat dibakar akan diinsinerasi, kemudian masuk ke fasilitas penyimpanan limbah. Sedangkan yang tidak dapat dibakar langsung dikirim ke fasilitas penyimpanan tanah. Selain itu, diperlukan juga teknologi untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi tersebut.
“Pencucian tanah dianggap sebagai langkah remediasi tanah terkontaminasi Cs-137, karena kesederhanaan dan efektivitas biayanya. Teknik ini berkaitan dengan kemampuan agen desorpsi, desorben, dalam mengekstraksi kontaminan dari tanah. Oleh karena itu, kesesuaian desorben perlu dikaji,” katanya.
Pilihan Editor: BMKG Prakirakan Sebagian Jakarta Hujan Siang hingga Malam