TEMPO.CO, Jakarta - Safwan Mohd Nor, seorang associate professor bidang keuangan di Universiti Malaysia Terengganu, menuduh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (Unas), Kumba Digdowiseiso, telah mencatut nama sederet panjang dosen di sebuah universitas di Malaysia untuk multipublikasi penelitian di jurnal predator.
Universitas itu memang pernah dikunjungi Kumba, namun para dosennya tersebut mengaku tak tahu menahu riset dan publikasi oleh sang guru besar muda Unas itu. "Kami tidak tahu orang ini," kata Safwan Mohd Nor kepada RETRACTION WATCH dalam artikel 10 April 2024.
Nor menyatakan mendapati namanya dalam daftar penulis di empat paper dalam jurnal yang tak diindeks oleh Web of Science Clarivate. Dia menyebut sepertinya telah terjadi penipuan atau praktik publikasi penelitian di jurnal predator. Lantas, bagaimana dampak publikasi di jurnal predator?
The Conversation dalam laporannya, 25 September 2023, menyebutkan beberapa jurnal membebankan biaya kepada akademisi untuk mempublikasikan penelitian mereka tanpa terlebih dahulu mengedit atau meneliti karya tersebut dengan standar etika atau editorial apapun.
Publikasi berorientasi profit ini sering dikenal sebagai jurnal predator karena merupakan publikasi yang mengklaim sebagai jurnal ilmiah yang sah namun ‘memangsa’ akademisi yang tidak menaruh curiga untuk membayar guna mempublikasikan dan sering salah menggambarkan praktik penerbitan mereka.
Terdapat sekitar 996 penerbit yang menerbitkan lebih dari 11.800 jurnal predator pada tahun 2015. Jumlah tersebut kira-kira sama dengan jumlah jurnal akademis yang sah dan memiliki akses terbuka – tersedia bagi pembaca tanpa biaya dan diarsipkan di perpustakaan yang didukung oleh lembaga pemerintah atau akademis – yang diterbitkan pada waktu yang hampir bersamaan. Pada tahun 2021, perkiraan lain menyebutkan ada 15.000 jurnal predator.
Tren ini dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap validitas penelitian di berbagai bidang, mulai dari kesehatan dan pertanian hingga ekonomi dan jurnalisme. "Kami adalah akademisi di bidang jurnalisme dan etika media yang melihat dampak negatif penerbitan predator terhadap bidang jurnalisme dan komunikasi massa. Kami percaya, penting bagi masyarakat untuk memahami bagaimana masalah ini berdampak pada masyarakat secara lebih luas," tulis The Conversation.
Dalam kebanyakan kasus, penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ini bersifat biasa-biasa saja dan tidak dikutip oleh akademisi lain. Namun dalam kasus lain, penelitian yang dilaksanakan dengan buruk – sering kali mengenai sains – dapat menyesatkan ilmuwan dan menghasilkan temuan yang tidak benar.
Penerbitan di jurnal dianggap sebagai bagian penting dari aktivitas seorang akademisi karena tanggung jawab profesor umumnya mencakup menyumbangkan pengetahuan baru dan cara memecahkan masalah di bidang penelitiannya. Menerbitkan penelitian sering kali menjadi bagian penting bagi para akademisi untuk mempertahankan pekerjaan mereka, mendapatkan promosi atau menerima jabatan – seperti ungkapan lama dari dunia akademis, “kamu menerbitkan maka kamu ada”.
Penerbit predator menciptakan hambatan besar dalam upaya memastikan bahwa penelitian baru mengenai topik-topik penting memiliki dasar yang kuat dan jujur.
Hal ini dapat berdampak pada penelitian kesehatan dan medis, serta bidang lainnya. The Conversation, mengutip ahli kesehatan, menyebutkan adanya risiko bahwa para ilmuwan dapat memasukkan temuan yang salah ke dalam praktik klinis mereka.
Standar yang tinggi sangat penting di semua bidang penelitian. Para pengambil kebijakan, pemerintah, pendidik, pelajar, jurnalis, dan pihak-pihak lainnya harus dapat mengandalkan temuan-temuan penelitian yang kredibel dan akurat dalam pengambilan keputusan mereka, tanpa terus-menerus memeriksa ulang validitas sumber.
Pilihan Editor: BMKG: Jakarta Selatan dan Timur Berpotensi Hujan dan Angin Kencang pada Senin Sore