TEMPO.CO, Mataram - Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia meminta Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) untuk membatalkan investasinya di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Alasannya, dana investasi dari AIIB itu akan menambah kerusakan lingkungan yang terjadi di Mandalika pasca-pembangunan sirkuit balap internasional.
"Masyarakat di sana telah lama menjadi korban, dan belum mendapatkan haknya," kata Muhammad Al Amin dari Walhi Sulawesi Selatan yang adalah anggota koalisi itu, saat dihubungi Tempo, Senin 24 Juni 2024.
AIIB, Amin menerangkan, mengalokasikan dana sebesar US$ 248,4 juta atau 78,5 persen dari total kebutuhan pendanaan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di mana sirkuit balap dunia itu menjadi daya tarik utamanya. AIIB setuju pembiayaan tersebut pada Desember 2018 lalu, sedangkan pelaksana proyek adalah Perusahaan Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC), sebuah perusahaan yang sahamnya sepenuhnya dimiliki oleh Kementerian BUMN.
Seruan Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia juga menjadi kelanjutan dari isi laporan yang pernah mereka keluarkan pada tahun lalu mengenai dampak-dampak HAM dan Sosio-ekonomi dari proyek pembangunan infrastruktur urban dan pariwisata Mandalika. Laporan mengangkat judul besar: Kalau Merugikan Masyarakat Lokal, Buat Apa Pembangunan?
Di dalamnya, koalisi yang juga beranggotakan antara lain LBH Mataram, Walhi NTB, dan Aliansi Solidaritas Masyarakat Lingkar Mandalika itu mengungkap hasil survei terhadap lebih dari 100 anggota masyarakat. Mereka dipilih yang terdampak di wilayah proyek dan di wilayah pengaruh proyek Mandalika.
Hasil dari wawancara dalam bahasa lokal Sasak dan Bahasa Indonesia itu menyebut 98 persen responden tidak dimintai persetujuannya terkait proyek Mandalika. Hanya 6 persen yang pernah mengikuti rapat konsultasi yang diadakan oleh ITDC atau oleh AIIB.
"Angka-angka ini merupakan pelanggaran yang jelas dan nyata terhadap Kerangka Kerja Lingkungan dan Sosial (ESF) AIIB, yang mewajibkan kliennya melakukan konsultasi bermakna dengan masyarakat yang terdampak dan memberikan bukti dukungan luas dari masyarakat adat," bunyi bagian dari rigkasan eksekutif laporan itu.
Efek negatif pembangunan Sirkuit Mandalika diakui dirasakan langsung oleh Sudirman (45 tahun), salah seorang warga Dusun Mengalung, Desa Kuta, Lombok Tengah, NTB. Bukan hanya berupa bising alat angkut material dan kepulan debunya saat pembangunan berlangsung, tapi juga dipapasnya bukit-bukit karena diekploitasi untuk menguruk lokasi salah satu proyek strategis nasional itu.
"Sumber material tanah untuk kebutuhan pembangunan sirkuit itu berasal dari perbukitan di sekitar Desa Kuta," katanya saat ditemui pada Jumat, 21 Juni 2024.
Dampaknya tak menunggu lama. Tepat sehari setelah pelaksanaan Moto GP 2022 di Sirkuit Mandalika, Desa Kuta terendam banjir parah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saat itu rumah Sudirman terendam hingga sepinggang. Catatan Tempo, banjir merendam seluruhnya ratusan rumah warga Kuta lainnya yang ada di Dusun Mong, Eatmate, Merendeng, dan Batu Riti.
“Kalaupun ada luapan sungai, tidak sampai separah sekarang ini biasanya,” kata Sudirman merujuk pasca-proyek Mandalika.
Menurut Sudirman, selama 15 tahun tinggal di Desa Kuta, sungai yang ada di depan rumahnya juga tak pernah kering meski kemarau. Tetapi, kondisinya kini disebutkannya telah berubah sejak bukit-bukit dikeruk tanahnya. “Kalau musim kemarau sekarang, sungainya terlalu dangkal,” katanya.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa Kuta, sekaligus Ketua Forum BPD Kecamatan Pujut, Alus Darmiah, menyatakan hal serupa. Proyek pembangunan KEK Mandalika disebutnya sudah berdampak bagi warga desa setempat berupa bencana banjir. Selain karena banyak kawasan perbukitan yang dikeruk tanahnya, Alus juga menunjuk sebab lainnya adalah perubahan aliran sungai yang menyesuaikan pembangunan Sirkuit Mandalika.
Menurut dia, proses perubahan itu tidak mempertimbangkan kearifan lokal. “Mereka tidak melibatkan dan juga tidak mengindahkan pendapat masyarakat lokal, hanya mengandalkan teori,” kata Alus. Sementara, dia menambahkan, “Nenek moyang kami sudah ratusan tahun di sini, mereka tahu ke mana aliran sungai itu ke mana kalau harus dialihkan.”
Badan Wilayah Sungai (BWS) NTB memang sudah membangun sejumlah saluran pengendali banjir, hanya saja perawatannya dinilai sangat minim. Dampaknya, terjadi pengendapan material tanah dan kerikil yang membuat pendangkalan. “Mereka bisa mengerjakan, tapi tidak bisa merawat,” katanya.
Begitu pula dengan kebutuhan bronjong yang tak kunjung disediakan. Kata Alus, ini membuat air sungai mudah melimpas ke permukiman ketika curah hujan tinggi.
Alus juga berharap pemerintah daerah bisa bertindak tegas soal pengerukan lahan di perbukitan di sekitar Kuta yang sampai saat ini disebutnya masih berlangsung. “Untuk pengerukan lahan itu, aturan hukum mesti ditegakkan,” kata Alus.
Kepala Desa Kuta, Mirate, memberi keterangan berbeda. Dia membantah bila banjir bertambah parah pascaproyek KEK Mandalika dan sirkuit balap internasionalnya. Namun dia mengakui saat ini terdapat sejumlah sungai yang mendesak untuk dikeruk. Dan menunjuk arah yang sama pula untuk sebab pendangkalan sungai-sungai itu: perbukitan yang gundul dan kini dieksploitasi tanahnya.
“Sudah banyak gunung gundul kan, tanahnya masuk ke aliran sungai,” kata dia sambil menegaskan, "Tidak ada dampak langsung dari proyek Mandalika.
IRSYAN HASYIM
Pilihan Editor: PPDB Jalur Zonasi di Jakarta, Begini Keluhan Korban Seleksi Umur