TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia bersama lembaga riset Celios (Center of Economic and Law Studies) meluncurkan hasil kajian dampak industri tambang terhadap sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat di kawasan pertambangan. Kajian ini turut menyoroti peran tambang terhadap kerusakan banyak daerah aliran sungai dan polusi udara.
"Rata-rata setiap tahun bencana di Indonesia didominasi oleh bencana hidrometeorologis yang semakin ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan semacamnya. Ini juga akibat tambang," kata Direktur Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, ketika meluncurkan hasil kajian itu di kawasan Jakarta Pusat, Rabu 26 Juni 2024.
Kajian disebutkan Leo berlatar kekhawatiran akan nasib masa depan Indonesia imbas masifnya perkembangan industri tambang yang dianggapnya bisa mengganggu indeks kesehatan serta pendidikan masyarakat. "Kita jangan melihat industri ini dalam sisi keuntungan untuk negara saja dan mengesampingkan dampaknya terhadap desa dan masyarakat kecil di lingkar tambang," katanya.
Perlu diketahui, dia menambahkan, di desa-desa yang bergantung pada tambang, kemajuan ekonomi mikronya terhambat. "Ini salah satu masalah secara umum yang terjadi dan dilihat Greenpeace," ucap Leo lagi.
Leo bahkan menyoroti bakal pergantian kepemimpinan di negara ini dari Joko Widodo atau Jokowi ke Prabowo Subianto. Dia berharap dengan bergantinya rezim, segala kesalahan dan cacat prosedural terhadap industri tambang bisa diubah dan tidak lagi ekstraktif atau merusak lingkungan.
"Demam hilirisasi yang dilanjutkan Prabowo-Gibran harus dihentikan, dan dilihat efek negatifnya pada sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya," katanya.
Pendidikan Merosot di Lingkar Tambang
Ekonom dari Celios, Nailul Huda, mengatakan bahwa masifnya industri pertambangan di Indonesia dua tahun terakhir membuat partisipasi masyarakat untuk melanjutkan pendidikan berkurang. Kajian Huda berbasis di kawasan tambang di Kalimantan dan kawasan timur Indonesia.
Dari kiri ke kanan, Deputi Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amelia A. Widyasanti, Koordinator Nasional JATAM Melky Nahar, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, Ekonom Celios Nailul Huda, ketika peluncuran riset dampak industri pertambangan di Indonesia, Rabu, 26 Juni 2024. TEMPO/Alif Ilham Fajriadi
"Kami lihat desa-desa yang menjadi kawasan sektor pertambangan sangat sulit mengakses pendidikan. Padahal pendidikan merupakan bentuk atau cara manusia untuk bisa naik kelas," kata Huda, seraya menyebut, "Dengan adanya industri tambang, mereka berpikir sudah bisa menghasilkan uang dan meninggalkan pendidikan."
Fenomena merosotnya pendidikan di lingkaran industri tambang membuat Huda gamang akan langkah yang disusun pemerintah untuk Indonesia Emas 2045. Kalau pemerintah tidak mengatasi persoalan ini, Huda cemas, bisa berefek buruk terhadap kemajuan pola pikir masyarakat sekitar tambang.
Selain pendidikan, industri tambang yang berdekatan dengan tempat bermukim penduduk juga disebutnya menebar masalah kesehatan dan lingkungan yang selama ini terabaikan. Antara lain, dia menuturkan, tidak jarang air bersih di kawasan tambang sangat sulit dicari dan berimbas pada munculnya penyakit seperti hepatitis A. Ditambah lagi, kata Huda, ancaman bencana banjir dan longsor yang bisa terjadi kapan saja di kawasan tambang.
Belum lagi fasilitas kesehatan di kawasan tambang sangat sulit untuk diakses. Artinya mereka (masyarakat) kesulitan untuk menjangkau rumah sakit. "Lalu pencemaran air ... masyarakat bahkan mengambil air dari bekas galian tambang," ujar Huda.
Pilihan Editor: Peretasan Pusat Data Nasional Bikin Lumpuh Ratusan Instansi, Apa Itu Ransomware?