TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan 1 Muharram 1446 Hijriah jatuh pada Ahad, 7 Juli 2024. Dilansir laman resmi Kemenag, penentuan tanggal tersebut sesuai dengan peredaran bulan dan lebih pendek sekitar 10-12 hari dibandingkan tahun matahari. Pergantian tanggal ini ditandai dengan terbenamnya matahari melalui sistem MABIMS atau Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Kemenag melihat, ketika matahari terbenam pada 6 Juli 2024, ketinggian hilal di Indonesia sekitar 3,06 derajat di Merauke sampai 5,84 derajat di Sabang. Sementara itu, elongasinya sekitar 6,91 derajat di Merauke sampai 8,17 derajat di Sabang. Perhitungan ini mengacu kriteria Imkanur Rukyat MABIMS.
“Berdasarkan tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat yang diukur atau ditentukan di seluruh wilayah Indonesia,” kata Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah atau Urais dan Binsyar Kemenag, Adib, pada 7 Juli 2024.
Berdasarkan brin.go.id, MABIMS adalah kriteria untuk menentukan penanggalan Hijriah. Selain itu, kriteria MABIMS juga menjadi salah satu upaya untuk unifikasi kalender Hijriah.
Kriteria MABIMS baru diterapkan di Indonesia pada 2022, terutama ketika menentukan awal Ramadan dan Hari Raya 1444 Hijriah (2023). Awalnya, penentuan Hijriah berdasarkan pada hilal ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. Namun, berdasarkan hasil kesepakatan MABIMS pada 2021, kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Menurut peneliti Ahli Utama Pusat Riset Astronomi, Prof. Thomas Djamaludin, rukyat dan hisab secara astronomi dinilai setara dalam menentukan awal Hijriah sehingga tidak ada dikotomi antara keduanya. Penerapan dua cara ini dapat dipersatukan dengan kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat.
Tak hanya itu, penerapan metode perhitungan hisab dan rukyat dalam Islam telah terjadi shifting paradigm (pergeseran paradigma). Semula, paradigma perhitungan ini hanya berfokus pada dalil-dalil hisab rukyat beserta interpretasinya. Namun, saat ini, paradigmanya sudah bergeser ke arah pembahasan unifikasi kalender global.
Pada kriteria MABIMS, terdapat unifikasi atau proses penyeragaman dalam kajian fikih dengan memperhatikan pendapat ahli fikih yang terbagi menjadi dua pandangan besar. Pertama, rukyat global. Pandangan pertama ini cenderung mengikuti dan menerapkan rukyat global milik Hanafi, Maliki, dan Hambali. Kedua, rukyat lokal. Pandangan kedua ini cenderung mengarah kepada rukyat lokal sekitar radius 120 kilometer (Syafi'iyah).
Kriteria MABIMS dalam menentukan awal bulan Hijriah harus diterima berbagai kalangan umat karena enam alasan mendasar, yaitu:
- Berdasarkan data rukyat atau pengamatan global jangka panjang
- Parameter yang biasa digunakan para ahli hisab Indonesia, yaitu ketinggian hilal dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari)
- Parameter menjelaskan aspek fisis rukyatul hilal
- Ketinggian minimal 3 derajat didasarkan pada data global
- Elongasi minimal 6,4 derajat didasarkan pada rekor elongasi bulan terdekat sesuai yang dilaporkan dalam makalah Mohammad Shawkat Odeh
- Kriteria baru MABIMS yang dibangun dengan data rukyat dan dianalisis secara hisab merupakan titik temu pengguna dua metode ini, yaitu NU (data rukyat) dan Muhammadiyah (hisab).
RACHEL FARAHDIBA R | AISYAH AMIRA WAKANG
Pilihan Editor: Peneliti BRIN: Kriteria Baru MABIMS Bepengaruh pada Penentuan Awal Ramadan