Dalam kecelakaan yang terjadi pada 25 Juli tersebut, tulang tengkorak Massa retak karena terkena hantaman per, hampir satu kilogram, yang lepas dari mobil yang dikemudikan Rubens Barrichello. Meski telah melewati masa kritis, mata Massa diperkirakan mengalami kerusakan akibat kecelakaan itu, namun ahli bedah saraf yang mengoperasinya belum bisa mengetahui seberapa parah kerusakannya.
Kecelakaan Massa membuat keamanan F1 kembali dipertanyakan. Hampir sepekan sebelumnya, Henry Surtees, seorang pembalap F2 yang baru berusia 18 tahun tewas setelah sebuah roda melenting dan menumbuk kepalanya dalam sebuah pertandingan di Brands Hatch.
Kematian yang merenggut nyawa Ayrton Senna dalam Grand Prix San Marino pada 1994 juga disebabkan kegagalan helmnya melindungi kepala pembalap Brasilia itu dari benturan keras. Serpihan dari roda depan yang hancur ketika mobilnya menabrak dinding membatas, membentur bagian depan helmnya dan mendorong kepalanya ke belakang dan menyebabkan tulang tengkorak Senna mengalami retak fatal.
"Tak bisa dihindari bila kita semua kurang peduli jika tidak mengalami kecelakaan serius," kata Martin Whitmarsh, bos tim McLaren. "Tragedi 1994 adalah alarm bagi semua orang di F1. Semua orang, tim dan International Automobile Federation (FIA), menyumbangkan pikiran untuk membangun langkah besar dalam keamanan F1 dan saya pikir kami harus melakukannya lagi."
Sejak peristiwa tragis yang menimpa Senna, berbagai fitur keamanan telah diterapkan, semisal sistem penyokong kepala dan leher (HANS), sisi kokpit yang lebih tinggi dan helm yang lebih kuat. Ternyata kasus yang menimpa Massa membuktikan semua perubahan itu kelihatannya tak mumpuni.
Tiga kecelakaan yang terjadi menunjukkan bahwa helm yang ada sekarang belum mampu melindungi kepala para pembalap dari benturan benda-benda yang melayang ke arahnya. Helm adalah satu-satunya penghalang pembalap, yang melaju dengan kecepatan sampai di atas 350 km per jam itu, dari hantaman karena seperti diketahui, kokpit mobil F1 tidak memiliki atap.
Sebenarnya helm yang digunakan dalam F1 dibuat mengikuti standar keamanan yang amat tinggi. Dalam F1 misalnya, setiap helm adalah unik, dibuah secara khusus bagi pembalap yang akan menggunakannya. Untuk memastikan ukuran helm itu benar-benar sesuai, kepala sang pembalap dipindai untuk menciptakan model ukuran aslinya.
Langkah berikutnya mirip dengan apa yang dilakukan orang Mesir kuno untuk membuat muminya. Pertama, model kepala itu dibebat dengan 120 lembar serat T 800. Tiap benangnya terdiri dari 12.000 microthread, yang tiap helainya 15 kali lipat lebih tipis daripada sehelai rambut manusia. Bila direntangkan, panjang total serat yang diproses untuk membuat satu helm mencapai 16.000 km.
Komposisi pasti dari 17 lapisan helm itu dijaga rapat-rapat oleh setiap produsen helm. Secara garis besar terdapat tiga substansi utama pentusun helm, serat karbon untuk kekokohan, aramide yang tahanapi serta polietilen, yang kerap digunakan untuk rompi antipeluru. Selain itu ada aluminium, magnesium dan epoxy resin sebagai bahan pengikatnya.
Beberapa bagian yang bahal menghadapi beban luar biasa, seperti bangian sisi dan lubang penglihatan, diperekuat dengan aluminium dan titanium Bantalan bagian dalam terditi dari dua lapis material Nomex yang tahanapi.
Dengan semua material tersebut, kekuatan helm itu tak perlu diragukan lagi. Beratnya pun hanya 1,2 kilogram sehingga lumayan ringan dan mengurangi ketegangan otot bahi dan leher pembalap yang menghadapi beban gaya gravitasi di arena.
Sayangnya semua kecanggihan itu belum cukup. Cedera yang dialami Massa, maupun kematian yang menjemput Senna dan Surtees menjadi buktinya. Kini F1 mulai berpikir ulang untuk mencari struktur kendaraan yang dapat meningkatkan keamanan pengemudinya, seperti perlunya membuat atap atau semacam layar pelindung. "Semua dimungkinkan, baik struktur, kaca depan maupun kanopi," kata Ross Brawn, pemilik tim Brawn.
Mantan direktur teknik Ferrari itu menyatakan pihaknya masih harus mencerna apa yang terjadi dan berusaha memahaminya. "Tanpa mengetahui semua detailnya, tampaknya apa yang telah dilakukan terhadap helm pembalap beberapa tahun sebelumnya menjadi penting," ujarnya.
Menutup kokpit pengemudi bukannya tanpa risiko. Atap berpotensi menghalangi regu penolong mengeluarkan pembalap dalam kondisi darurat.
Bernie Ecclestone, salah seorang pemegang hak komersial helm F1 menyatakan terbuka peluang untuk memperbaiki helm tersebut. "Kita bisa belajar dari kecelakaan yang terjadi dan apa yang bisa kita lakukan,"ujarnya. "Kami harus mempelajari teknologi helm, apa yang bisa diperbaiki dan mempelajari visor."
Untuk membuat helm yang aman tapi tetap memiliki visor yang memungkinkan pembalap melihat lintasan dengan jelas, F1 bisa belajar dari cabang olah raga lain. "Hoki es, misalnya, para pemukul bola bisa melihat dengan jelas namun visor-nya cukup kuat untuk menahan benturan bola yang melesat seperti peluru," kata Ecclestone.
l TJANDRA DEWI | REUTERS | AP | F1COMPLETE