TEMPO.CO, Jakarta - Rumah kontrakan di pertigaan antara Jalan Budi Raya, Jalan Enim 1, dan Jalan Bakti, di Jakarta Utara itu ramai orang datang dan pergi. Rumah dua tingkat itu tak lain adalah kantor Bank Sampah Induk (BSI) Kumala yang berada di bawah naungan Yayasan Kumala.
Lokasi bank sampah ini cukup strategis karena berada di tengah permukiman padat penduduk wilayah Kelurahan Sungai Bambu, Kecamatan Tanjung Priok. Jalan di depan rumah dengan pilar-pilar warna hijau ini selalu ramai karena merupakan jalur utama warga berlalu-lalang.
Pagi menjelang siang, orang silih berganti masuk dan keluar dari rumah kontrakan ini untuk menjemput dan mengangkut sampah yang sudah terpilah dari nasabah. Nasabah adalah sebutan untuk warga yang menjual sampahnya ke BSI Kumala.
Ketua Bank Sampah Induk Kumala, Bayu Hermawan, mengatakan, orientasi bank sampah ini adalah untuk mendorong warga melakukan pengelolaan sampah secara bertanggung jawab dan menjadikan sampah memiliki nilai ekonomi.
Selain itu, juga ada unsur pemberdayaan anak-anak jalanan. “Pengelolaan sampah itu pembinaan buat mereka, kemampuan untuk inovasi produk, khususnya di distribusi sampah,” kata Bayu saat ditemui di kantor BSI Kumala, Sabtu, 2 November 2024 lalu.
Pendiri Yayasan Kumala adalah Dindin Komarudin, pria yang dikenal tidak hanya karena aktivitas pemilahan dan pengelolaan sampah, tapi juga dalam soal pemberdayaan kelompok marjinal. Ia mendapatkan berbagai penghargaan, termasuk Kalpataru 2024 kategori Pembina Lingkungan.
Saat berdiri pada 2016, awalnya status Bank Sampah Kumala masih sebagai Bank Sampah Unit. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang menaikkan statusnya menjadi Bank Sampah Unit di Jakarta Utara pada 2023 karena makin produktif dan telah bekerja sama dengan berbagai lembaga dan perusahaan untuk sosialisasi pengelolaan sampah yang baik dan benar.
Setelah status berubah, kata Bayu, bank sampah pun harus lebih siap dari berbagai aspek, seperti sarana dan prasarana pendukung, penambahan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM), serta harus lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah. “Sedangkan kami bukan bisnis murni. Yayasan ini fokusnya pemberdayaan dan pengelolaan sampah,” ucapnya.
Bayu mengatakan, bank sampah ini digerakkan secara swadaya dan bermitra dengan berbagai pihak. Untuk operasional, bank sampah ini mengandalkan penjualan produk hasil kerajinan dari sampah, penjualan sampah terpilah ke perusahaan pengolah sampah, dan jasa pendampingan dan pelatihan.
Saat ini BSI Kumala memiliki 100 lebih nasabah perorangan, sembilan nasabah dari kalangan perusahaan, dan 42 dari bank sampah unit. Jenis tabungan yang ditawarkan adalah reguler, pendidikan, dan hari raya. Dengan tabungan ini nasabah bisa mengambil uangnya dalam waktu tertentu.
Mereka yang memilih tabungan reguler, ia bisa mengambil uangnya kapan pun. Untuk tabungan pendidikan, uangnya bisa diambil sekali dalam satu semester. Bagi yang memilih tabungan hari raya, uangnya bisa diambil saat hari raya keagamaannya.
Produk Kerajinan
Ada sejumlah kerajinan yang dihasilkan BSI Kumala. Antara lain, gelas atau plakat dari kayu sisa penebangan pohon tumbang di jalan raya, gantungan kunci dari palet kayu bekas, dan kertas hasil daur ulang. Juga ada kerajinan tas tangan maupun tas kertas dan semacamnya.
Pembeli produk kerajinan, kata Bayu, datang dari kelas atas karena harganya lebih mahal dari produk biasanya dengan bahan lain. Keunikan bahan baku produk juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pembeli.
Meskipun banyak pihak yang mengapresiasi, kata Bayu, BSI Kumala dengan berbagai produknya butuh penyempurnaan dan menyesuaikan dengan permintaan pasar. “Memang ini masih butuh penyempurnaan lagi dan inovasi terus,” ucap Bayu.
Tantangan Bank Sampah
Bayu mengatakan, ada sejumlah tantangan yang dialami bank sampah seperti BSI Kumala. Pertama, belum semua di wilayah di Jakarta Utara terdapat bank sampah.
Selain itu, penawaran harga sampah kepada nasabah juga terkadang masih kalah dengan lapak barang bekas. “BSI tidak bisa menghadirkan harga yang bagus karena keterbatasan modal,” kata Bayu.
Kedua, terbatasnya kendaraan operasional untuk antar-jemput sampah.
Ketiga, sumber daya manusianya juga masih sangat terbatas untuk berbagai lini aktivitas.
Keempat, perlu memaksimalkan produk hasil daur ulang.
Kelima, perlu terus berinovasi. “Seperti produk plastik gitu ya dari daur ulang plastik, itu kan butuh mesin dengan harga lumayan (mahal),” ucap Bayu.
Bayu mengatakan, bank sampah bukanlah kegiatan bisnis murni, namun bisnis sosial. Artinya, ada upaya pemanfaatan barang-barang bekas menjadi memiliki nilai ekonomi.
Yayasan Kumala, kata Bayu, juga bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi DKI Jakarta untuk pemberdayaan masyarakat di Kampung Bahari. Sebab, wilayah itu terkenal karena peredaran narkotika. BNN ingin memberdayakan masyarakat yang terdampak melalui aktivitas membuat kerajinan dari sampah.