Kini tim ilmuwan di University of Oklahoma berharap dapat mengekstrak DNA dari serpihan kecil tulang tersebut dalam sebuah tes yang dapat membuktikan Earhart tewas terdampar setelah gagal mewujudkan impiannya menjadi perempuan pertama yang terbang keliling dunia pada 1937. "Tak ada jaminan itu tulang Earhart," kata Ric Gillespie, Direktur International Group for Historic Aircraft Recovery, sebuah kelompok penggemar penerbangan di Delaware.
Beberapa bulan lalu, kelompok Gillespie menemukan potongan tulang itu dalam sebuah ekspedisi ke Pulau Nikumaroro, sekitar 1,8 mil selatan Hawaii. "Anda hanya perlu mengatakan punya tulang yang mungkin tulang manusia dan mungkin terkait dengan Earhart, maka orang-orang langsung tertarik," ujarnya.
Butuh waktu berbulan-bulan sebelum ilmuwan dapat memastikannya, karena bisa saja tulang itu ternyata tulang penyu. Potongan tulang tersebut ditemukan di dekat sebuah cangkang penyu berlubang yang mungkin digunakan untuk mengumpulkan air hujan, tapi tak ada bagian penyu lainnya.
Menghilangnya Earhart pada 2 Juli 1937 masih menjadi misteri abad ke-20 yang tak pernah terungkap. Apakah dia kehabisan bahan bakar dan jatuh ke laut? Apakah pesawat Lockheed Electra, yang dikemudikannya, mengalami gangguan mesin? Atau apakah dia mendaratkan pesawatnya di terumbu karang pulau itu?
Sejak 1989, kelompok Gillespie melakukan 10 kali kunjungan ke Nikumaroro. Mereka mencoba menemukan petunjuk yang mungkin dapat membantu mengungkap nasib Earhart dan navigatornya, Fred Noonan.
Musim semi lalu, sejumlah relawan yang meneliti bekas perkemahan di pulau itu menemukan sepotong tulang yang tampaknya tulang leher dan potongan tulang lain yang berbeda dengan tulang burung atau ikan. Potongan tulang ketiga diperkirakan adalah tulang jari. Serpihan tulang terbesar yang ditemukan kurang dari 3 sentimeter.
Daerah yang mereka teliti berada tak jauh dari lokasi penemuan kerangka pada 1940. Tulang burung serta ikan yang ditemukan menunjukkan bahwa pernah ada orang Barat yang menyiapkan makanan di sana. "Ikan itu tidak dimakan seperti cara penduduk kepulauan Pasifik," katanya.
Sejumlah ekspedisi yang menelan biaya hingga jutaan dolar Amerika gagal menemukan apa yang terjadi pada Earhart, yang dinyatakan tewas oleh pengadilan California, dua tahun setelah dia lenyap. Versi resmi menyatakan Earhart dan Noonan kehabisan bahan bakar dan jatuh ke laut ketika terbang dari Lae, New Guinea, menuju Pulau Howland, yang memiliki landasan pacu dan bahan bakar.
Dalam buku Gillespie yang berjudul Finding Amelia: The True Story of the Earhart Disappearance dan Amelia Earhart's Shoes dipaparkan dugaan bahwa pasangan itu mendarat di karang dan mengandalkan ikan, burung, serta air hujan sebagai penopang kehidupan selama berbulan-bulan.
Gillespie, yang juga pilot, mengatakan perempuan yang pertama terbang solo melintasi Samudra Atlantik itu membutuhkan tanah kosong sepanjang 200 meter untuk melakukan pendaratan karena kecepatan pesawatnya hanya 90 kilometer per jam. "Tampaknya dia berhasil mendarat di terumbu karang yang mengelilingi pulau. Daerah itu sangat rata dan halus," kata Gillespie. "Ketika surut, tempat itu bagai dikelilingi lahan parkir."
Meski selamat, Gillespie memperkirakan pesawat itu perlahan tergeser gelombang ke laut. Perairan di sekitar terumbu karang itu memiliki kedalaman 300-600 meter. Kelompoknya perlu US$ 3-5 juta untuk melakukan penyelaman.
Dua bulan lalu, sekitar 1 gram serpihan tulang dikirim ke Molecular Anthropology Laboratory di University of Oklahoma, yang berpengalaman mengekstraksi material genetik dari tulang tua. Kelompok Gillespie juga memiliki sampel genetik dari kerabat perempuan Earhart untuk dibandingkan. Kini ilmuwan mencari DNA mitokondria dari serpihan tulang, karena material genetik itu hanya diwariskan kepada perempuan, sehingga tak perlu mencari sampel Noonan.
Cecil Lewis, ahli antropologi di laboratorium itu, menyatakan perlu lebih banyak tulang untuk dikirim ke institusi lain guna memverifikasi hasil analisis mereka. "Sepengetahuan kami, ini hanyalah tulang penyu, dan banyak orang akan merasa sangat kecewa," kata Lewis.
Analisis itu butuh waktu sekitar dua pekan, tapi bisa juga hingga berbulan-bulan. "DNA lama sangat sulit diprediksi," katanya.
Selain tulang, material lain yang menjadi bukti keberadaan orang Barat di pulau terpencil itu adalah potongan cangkang, botol, dan alat rias. Berbeda dengan penduduk lokal yang makan kerang langsung di laut, cangkang itu membuktikan ada orang yang membawanya ke pantai sebelum membuka dan memotong-motongnya.
Botol yang ditemukan itu agak meleleh pada bagian dasarnya, yang menunjukkan bahwa botol itu pernah ditaruh di atas api, mungkin untuk merebus air. Penjaga pantai di pulau tersebut semasa Perang Dunia II tidak perlu merebus air untuk minum.
Peralatan rias yang ditemukan semakin memperkuat dugaan keberadaan seorang wanita Barat di sana, termasuk adanya botol kaca dengan sisa lanolin dan minyak, kemungkinan hand lotion. Kini kelompok Gillespie tengah mengecek produk yang dikenakan Earhart dan apakah ada daftar spesifik tentang alat rias yang dibawanya.
Pada 2007, kelompok itu menemukan sisa pisau saku, tapi tak bisa dipastikan apakah itu ditinggalkan oleh penjaga pantai atau orang terdampar. Tahun ini, mereka menemukan pecahan pisau, yang menunjukkan bahwa seseorang sengaja mematahkannya untuk mengambil bilah pisau. Gillespie menduga orang tersebut memakai pisau itu untuk membuat tombak dan menangkap ikan di laut dangkal, seperti yang ditemukan di sekitar perkemahan.
TJANDRA DEWI AP | AMELIAEARHART