TEMPO Interaktif, Bandung - Meski tim pengamat khusus belum disiagakan, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di Bandung mengawasi pergerakan Upper Atmosphere Research Satellite dari rumah. Sebuah layar monitor pemantau jatuhnya satelit milik badan antariksa Amerika itu terpasang di kantor Lapan.
“Peneliti yang stand by di kantor belum ada, tapi selama ini bisa diawasi dari rumah,” kata peneliti bidang matahari dan antariksa Lapan-Bandung, Abdul Rachman, Kamis 22 September 2011.
Abdul Rachman dan sejawatnya membuat sistem pemantauan jarak jauh itu dengan memodifikasi perangkat lunak Orbitron yang umum dipakai pemantau benda jatuh di seluruh dunia.
Di kantor Lapan, pemantauan hanya dikhususkan untuk ancaman sampah antariksa yang berpotensi jatuh di wilayah Indonesia. Perkembangan posisi sampah antariksa itu bisa dipantau dari internet di rumah.
Hingga Kamis sore, garis lintasan Upper Atmosphere Research Satellite (UARS) masih berwarna hijau. “Ketinggiannya di atas 150 kilometer, masih aman. Kalau sudah kuning berarti waspada,” ujarnya. Garis warna kuning menunjukkan posisi benda di ketinggian 120-150 kilometer dari bumi.
Adul Rachman menyatakan kecil kemungkinan bangkai satelit berbobot sekitar 6 ton itu jatuh di wilayah Indonesia. Alasannya, kemiringan orbit UARS cukup besar, yaitu 57 derajat.
“Potensi ada, tapi tidak sebesar dibanding kemiringan yang lebih kecil seperti 5 derajat terhadap ekuator,” katanya. Kasus itu terjadi pada bangkai sebuah satelit pengamat cuaca yang jatuh di lautan Pasifik pada 2004.
Di luar angkasa, kata Abdul Rachamn, diperkirakan ada 16 ribu benda melayang. Tujuh persen diantaranya satelit luar angkasa, selebihnya sampah antariksa.
ANWAR SISWADI