TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, terus menuai penolakan dari warga. Belasan perwakilan warga dari lima desa di Batang hari ini, Rabu, 3 April 2013 kembali mendatangi Jakarta untuk mendesak pemerintah agar membatalkan rencana tersebut. Mereka didampingi aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Greenpeace Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Arif Fiyanto, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, mengatakan rencana pembangunan PLTU dapat memicu berbagai ekses lingkungan dan sosial yang negatif bagi warga sekitar. Berdasarkan perhitungan Greenpeace, PLTU berkapasitas 2 x 1.000 Megawatt itu bakal melepaskan emisi karbon hingga sebesar 10,8 juta ton per tahun.
"Angka ini setara dengan jumlah emisi karbon yang dikeluarkan satu negara Myanmar tahun 2009," kata Arif dalam konferensi pers di Bakoel Coffee di Cikini.
PLTU juga akan melepaskan emisi logam berat merkuri sebesar 220 kilogram per tahun. Angka ini terbilang tinggi mengingat 11 miligram merkuri mampu mencemari 10 hektare perairan atau danau dan mengakibatkan ikan yang hidup di dalamnya tidak lagi layak dikonsumsi oleh manusia.
Belum lagi polutan lainnya yang dilepaskan ke udara dari pembakaran batubara, seperti SO2, NO, CO, PM 2.5, arsenik, dan timbal. Greenpeace memprediksi PLTU Batang akan memuntahkan 16.200 ton senyawa SOx, 20.200 ton NOx, dan PM 2.5 sebesar 610 ton per tahun. Polutan beracun ini menyebabkan berbagai penyakit, terutama berkaitan dengan pernapasan, bagi warga di sekitar PLTU.
Pemerintah menunjuk PT. Bhimasena Power Indonesia--konsorsium yang terdiri dari dua perusahaan Jepang, J-Power dan Itochu, serta satu perusahaan batubara Indonesia, PT Adaro--sebagai pihak yang akan membangun PLTU Batang. Pembangkit yang diklaim sebagai PLTU terbesar di Asia Tenggara ini bakal berdiri di pesisir Ujunggnegoro-Roban. Penduduk Desa Karanggeneng, Roban, Ujungnegoro, Wonokerso, dan Ponowareng yang berjumlah sekitar 12 ribu orang akan terkena dampak langsung dari proyek berbiaya Rp 35 triliun ini.
Proyek raksasa ini akan menggunakan lahan seluas 370-700 hektare, melahap lahan pertanian produktif dan sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektare. Perkebunan melati seluas 20 hektare dan 152 hektare sawah tadah hujan juga terancam. Yang lebih mengejutkan, PLTU ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, kawasan konservasi kaya ikan dan terumbu karang yang menjadi wilayah tangkapan ikan bagi nelayan dari berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa.
Roidi, 27, penduduk Desa Karanggeneng, menyatakan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTU karena dinilai tidak ramah lingkungan. "Itu di kawasan konservasi dan kawasan padat penduduk," kata dia. Pembangunan PLTU juga akan mengancam kesejahteraan ribuan warga yang menggantungkan hidup sebagai nelayan dan petani. "Sejahtera darimana kalau lahannya habis untuk membangun PLTU dan lautnya rusak".
Arif mengatakan, batubara merupakan bahan bakar fosil terkotor di dunia. Batubara menghasilkan 29 persen lebih banyak karbon per unit energi dibanding minyak dan 80 persen lebih banyak daripada gas. Secara global batubara berkontribusi terhadap lebih dari 65 persen emisi karbondioksida, gas penyebab terbesar perubahan iklim dan pemanasan global.
Sikap pemerintah yang bersikeras ingin membangun PLTU justru bertolak belakang dengan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurasi emisi gas rumah kaca Indonesia dan mengatasi perubahan iklim. Presiden SBY berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen pada 2020 dan 41 persen jika didukung bantuan internasional. "Indonesia harus segera mengurangi ketergantungan yang sangat tinggi terhadap batubara," ucap Arif.
MAHARDIKA SATRIA HADI
Baca Berita Tempo Lainnya
Google Digugat Enam Negara
Mengapa Danau Erie Kerap Diserang Alga?
Solo, Tuan Rumah Pertemuan ASEAN Blogger
Telkom Target Pasang Satu Juta WiFi
Topik Terhangat:
Edsus Guru Spiritual Seleb || Serangan Penjara Sleman || Harta Djoko Susilo|| Nasib Anas