Richard Tolman, peneliti Universitas Michigan, mengatakan anak laki-laki sering kali memperlakukan anak perempuan sebagai obyek seksual. Ini yang berkontribusi pada tingkat pemaksaan seksual yang lebih tinggi.
"Karena anak laki-laki merasa memiliki kekuasaan seksual lebih besar terhadap anak perempuan selama kencan digital berlangsung," ujar dia. Anak perempuan lebih banyak lagi menjadi korban kekerasan pemaksaan seksual digital.
Di sisi lain, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki tingkat yang sama dalam hal pemantauan digital dan kontrol, dan agresi langsung digital. Itu terjadi ketika hubungan tidak selalu mulus, bahkan sebaliknya, kerap diwarnai konflik.
Baca: Dorong Ekonomi Digital, Pakar: Perlu UU Perlindungan Data Pribadi
Saat dihadapkan dengan agresi langsung, seperti ancaman dan penyebaran rumor, anak perempuan menanggapi dengan mem-blocking komunikasi dengan pacarnya. Anak laki-laki menanggapi dengan cara yang sama ketika mereka mengalami pemantauan digital dan mengontrol perilaku.
Anak perempuan, di sisi lain, menurut Richard Tolman, lebih memprioritaskan hubungan, yang dapat menyebabkan rasa cemburu dan posesif lebih terhadap pacarnya. Dengan demikian, mereka mungkin lebih cenderung memantau aktivitas anak laki-laki.
Riset serupa empat tahun lalu yang digelar oleh Urban Institute Washington juga menunjukkan satu dari empat remaja yang melakukan kencan digital dilecehkan secara online atau melalui teks oleh pacarnya. Teknologi baru, media sosial, teks, telepon pintar, dan surel memberi jalan lain bagi para peleceh untuk mengontrol, mengancam, dan memaksa pacarnya tanpa saling bertatap muka.
Baca: Dukung Ekonomi Digital, Coworking Indonesia Gandeng Hypernet
Simak berita menarik tentang kencan digital lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.
SCIENCE DAILY | SCIENCE DIRECT | NCDSV | AHMAD NURHASIM