TEMPO.CO, Jakarta - Pekan lalu, dua maskapai asing mengalami turbulensi di langit wilayah Indonesia. Pesawat Etihad Airways EY-474 jurusan Abu Dhabi-Jakarta pada 4 Mei 2016 dan Hong Kong Airways HX-6704 rute Denpasar-Hong Kong pada 7 Mei 2016.
Turbulensi merupakan fenomena aliran udara yang bervariasi pada jarak yang pendek. “Fenomena di atmosfer ini terjadi akibat perbedaan atau ketidakteraturan kondisi suhu dan tekanan,” kata Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika seperti dikutip dari laman BMKG, Ahad, 8 Mei 2016.
Meski sama-sama mengalami turbulensi, masing-masing maskapai mengalami jenis yang berbeda.
Menurut BMKG, turbulensi pada pesawat Etihad Airways EY-474 sudah pada tingkat severe atau parah. Pada level ini, pesawat mengalami perubahan ketinggian dan arah yang besar, sehingga pesawat tidak dapat terkontrol dalam beberapa saat.
Imbas turbulensi tersebut, sedikitnya 31 penumpang mengalami luka ringan hingga patah tulang. Musababnya, pada ketinggian sekitar 37 ribu kaki, pesawat mengalami gerak ke atas dan ke bawah secara ekstrem. Penumpang yang berjalan atau di dalam toilet terlempar mengikuti gerak tersebut. Sementara, barang-barang dalam bagasi kabin terhambur keluar dan penumpang yang duduk dengan seat belt terpasang akan merasakan sensasi terjepit yang menyakitkan.
Berdasarkan analisis citra satelit Himawari 8, produk jenis awan dan kanal 8, 9, dan 10, antara pukul 13.00-14.00 WIB, EY-474 tidak memasuki awan cumulonimbus (CB) pada jalur penerbangan. Kejadian ini disebut turbulensi cuaca cerah atau clear air turbulance (CAT), yang terjadi secara umum pada lapisan atas atmosfer sekitar 30 ribu–50 ribu kaki.
Karena itu, BMKG beranggapan turbulensi tingkat parah tersebut berasal dari kombinasi dari gelombang dekat Pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Bagian Selatan dan awan CB di sekitar jalur penerbangan EY-474.
Sedangkan turbulensi pada Hong Kong Airways HX-6704 terjadi pada ketinggian 41 ribu kaki. BMKG memperkirakan kekuatan goncangan tersebut juga pada level severe. Tetapi, karena skalanya kecil, peralatan pengamatan cuaca dari produk SigWx WAFC London dan Washington tidak mendeteksi turbulensi cuaca cerah.
BMKG mengindikasikan turbulensi tersebut merupakan akibat dari peningkatan perbedaan kecepatan angin pada level atas pada level tropopause (39 ribu-45 ribu kaki). Insiden itu menimbulkan 3 korban luka berat dengan lebih dari 17 penumpang mengalami luka ringan.
BMKG mengimbau pada seluruh maskapai penerbangan untuk meningkatkan kewaspadaan dan menyampaikan kejadian CAT atau turbulensi lainnya kepada unit pelayanan lalu lintas udara (ATS). Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 9 Tahun 2015 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 174, tentang pelayanan informasi meteorologi penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services).
FRISKI RIANA