TEMPO.CO, Oregon - Gunung berapi bawah laut masih menyimpan banyak misteri. Sebab, letak dan persebarannya yang luas menyulitkan para peneliti untuk mempelajarinya. Padahal intensitas letusan gunung bawah laut mencapai 75 persen dari semua letusan gunung berapi di bumi.
Di Indonesia, dari 129 gunung api, ada lima yang berada di dalam laut, antara lain Gunung Sub Marine, yang meletus pada 1922; dan Gunung Banuawalu, meletus pada 1919. Keduanya terletak di perairan Sulawesi Utara.
Selain itu, di perairan Banda ada Gunung Niuwewerker (meletus pada 1927) dan Gunung Emperor of China. Gunung api bawah laut lainnya adalah Hobal (meletus 1999) di perairan Nusa Tenggara Timur.
Para ahli menemukan informasi bahwa sebuah gunung berapi bawah laut memberi sinyal yang sangat jelas sebelum meletus. Penelitian ini dilakukan tim geologi dari Oregon State University di Newport, Amerika Serikat, dan diterbitkan di jurnal Nature Geoscience edisi 10 Juni 2012.
Tim ini menggunakan robot bawah laut untuk memasang instrumen di Axial Seamount, gunung berapi bawah laut yang terletak sekitar 400 kilometer dari lepas pantai Oregon. Gunung berapi ini terletak pada kedalaman lebih dari 1.500 meter dan pernah meletus pada 6 April 2011.
"Axial Seamount adalah unik karena merupakan salah satu dari sedikit tempat di dunia dengan rekor jangka panjang pemantauan gunung berapi bawah laut. Kami sekarang dapat memahami polanya," kata Bill Chadwick, seorang ahli geologi di Oregon State University, Newport, Amerika Serikat.
Para peneliti menggunakan sensor tekanan pada dasar laut untuk memantau gerakan vertikal gunung berapi. "Pengangkatan lantai dasar laut telah dimulai secara bertahap dan mulai stabil sekitar dua tahun setelah terakhir meletus," kata Chadwick.
Namun tingkat inflasi magma berubah dari bertahap menjadi cepat sekitar 4-5 bulan sebelum letusan. Peningkatannya menjadi tiga kali lipat, sehingga memberikan petunjuk bahwa letusan berikutnya akan datang.
Kurang dari satu jam sebelum letusan, dasar laut terangkat mendadak setinggi 7 sentimeter. Setelah letusan berakhir, dasar laut menurun lebih dari 2 meter akibat aliran magma ke samudra dan meletus sebagai lava.
"Gerakan semacam ini juga telah terdeteksi sebelumnya di daerah sekitar gunung berapi di darat. Tapi tidak seefektif yang ada di lautan," kata ahli geologi laut, Neil Mitchell, dari University of Manchester di Inggris, yang tidak mengambil bagian dalam penelitian ini.
Data seismik dari mikrofon bawah air (hidrofon) juga memberikan petunjuk tentang perilaku gunung berapi. Data ini menunjukkan penumpukan bertahap jumlah gempa bumi kecil (rata-rata sebesar 2 skala Richter) dalam empat tahun sebelum letusan pada 2011.
Para peneliti kemudian mendeteksi lonjakan energi seismik yang mendadak sekitar 2,6 jam sebelum letusan terjadi. Hidrofon mengambil sinyal dari ribuan gempa bumi kecil selama beberapa menit. "Setelah kami telusuri, gempa-gempa ini disebabkan oleh naiknya magma dari dalam gunung berapi yang menerobos ke kerak Bumi," kata Bob Dziak, ahli geologi laut dari Oregon State University.
Magma naik ke permukaan melalui celah-celah dan menciptakan ledakan aktivitas gempa yang kekuatannya semakin besar. Analisis seismik dapat digunakan untuk melihat naiknya magma dari dalam gunung berapi sekitar dua jam sebelum letusan.
Apakah sinyal energi seismik sebelum letusan ini hanya unik untuk Axial atau mungkin direplikasi ke gunung berapi lainnya, masih belum jelas. "Namun temuan ini menjadi dasar untuk memulai penelitian lain yang sejenis," ujar Dziak.
Menurut Mitchell, jika gejala vulkanik ini terpisah dari gempa bumi tektonik biasa, "Kita memiliki satu cara untuk memantau aktivitas vulkanik di lautan," kata dia kepada OurAmazingPlanet.
LIVE SCIENCE | OUR AMAZING PLANET | AMRI MAHBUB