TEMPO.CO, Jakarta - Studi terbaru yang dilakukan International Data Center (IDC), National University of Singapore (NUS), dan Microsoft menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara infeksi malware dengan software bajakan. "Dengan menganalisa 203 komputer personal (PC) baru di 11 negara yang didalamnya berisi software bajakan, 61 persen di antaranya terinfeksi malware (malicious software)," kata Reza Topobroto, Direktur Bagian Hukum Microsoft Indonesia, saat merilis hasil studi itu di kantor Microsoft di Jakarta, 19 Maret 2014.
Penelitian global dengan tema "The Link Between Pirated Software and Cybersecurity Breaches" ini dilakukan dengan cara melakukan survey terhadap 1.700 konsumen, pekerja teknologi informasi, pejabat bidang informasi, dan pejabat pemerintah di Brazil, Cina, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Jepang, Meksiko, Polandia, Rusia, Singapura, Ukraina, Inggris, dan Amerika Serikat. Studi ini juga menganalisa 203 komputer yang diperoleh dari Brazil, Cina, India, Indonesia, Meksiko, Rusia, Korea Selatan, Thailand, Turki, Ukraina, dan Amerika Serikat.
Menurut Reza, secara global, perusahaan diperkirakan akan menghabiskan US$ 126,9 miliar pada tahun ini untuk mengatasi masalah yang diakibatkan oleh malware yang sengaja dimasukkan ke dalam software bajakan tersebut. Sedangkan perusahaan di kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan menghabiskan hampir US$ 230 miliar, Amerika Utara US$ 22 miliar, Eropa Barat US$ 16,2 miliar.
Angka kerugiannya akan bertambah besar jika memperhitungkan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengatasi pembobolan data yang terjadi karena malware dari software bajakan. Menurut taksiran studi ini, secara global, perusahaan harus merogoh kocek tambahan US$ 365 miliar untuk mengatasi kebocoran data. Perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik ditaksir harus mengeluarkan dana US$ 169 miliar untuk mengatasi pembobolan data ini.
Hasil studi itu juga mengungkapkan, 65 persen dari konsumen di Asia Pasifik mengatakan, ketakutan terbesar mereka dari software yang terinfeksi malware adalah soal kehilangan data, file atau informasi pribadi, diikuti oleh transaksi internet yang illegal (48 persen) dan potensi pencurian identitas (47 persen). Hanya saja, 41 persen dari responden tidak menginstal pembaruan keamanan (security updates), membiarkan komputer-komputernya terbuka untuk diserang oleh para pelaku kejahatan dunia maya.
Pejabat-pejabat pemerintah yang disurvey menyatakan keprihatinannya tentang potensi ancaman keamanan dunia maya kepada negara mereka. Pemerintah di Asia Pasifik paling mengkhawatirkan tentang akses ilegal ke informasi penting pemerintahan (57 persen), dampak dari serangan cyber pada infrastuktur penting (56 persen), dan kehilangan rahasia bisnis perdagangan atau informasi kompetitif (55 persen). Diperkirakan, pemerintahan di dunia bisa mengalami kerugian lebih dari US$50 miliar untuk biaya yang berkaitan dengan malware pada software bajakan.
"Menggunakan software bajakan seperti berjalan melalui medan ranjau darat. Anda tidak tahu kapan Anda akan datang pada sesuatu yang buruk. Tetapi jika Anda melakukannya, bisa sangat merusak," kata John Gantz, Chief Researcher IDC, dalam siaran pers soal hasil studi ini. "Membeli perangkat lunak yang sah lebih murah dalam jangka panjang. Setidaknya Anda tahu bahwa Anda tidak akan mendapatkan bonus berupa malware (software berbahaya)."
Profesor Biplab Sikdar, dari NUS menambahkan, mengingat PC baru telah terinfeksi dengan malware, itu membuat penggunanya dan perusahaan menjadi rentan dibobol sistem keamanan internetnya. "Tes forensik NUS jelas menunjukkan bagaimana pelaku kejahatan dunia maya semakin memanfaatkan rantai pasokan tidak aman dari pembajakan untuk menyebarkan malware dan mengorbankan keamanan PC dengan cara serius. Kami merekomendasikan penggunaan software asli untuk keamanan di dunia online dan dunia maya."
Reza menambahkan, besarnya biaya yang diperkirakan akan dikeluarkan oleh perusahaan dan konsumen akibat malware menunjukkan bahwa kejahatan di dunia maya sangat merugikan secara finansial. Microsoft Cybercrime Center berkomitmen untuk mengakhiri berbagai ancaman dari dunia cyber ini untuk menjaga data pribadi dan keuangan konsumennya. Dipublikasikannya hasil studi gabungan IDC-NUS-Microsoft ini juga sebagai bagian dari kampanye Microsoft "Play It Safe", sebuah inisiatif global untuk menciptakan kesadaran yang lebih besar soal fakta kuatnya hubungan antara malware dan pembajakan.
ABDUL MANAN
Berita Lainnya
Waspada Berita Malaysia Airlines di Facebook
Bantu Pengembang Lokal, Intel Bentuk Program iDoJo
Microsoft Siap Jejali iPad dengan Layanan Office
Ini Spesifikasi Samsung Galaxy S5 di Indonesia
Berita terkait
Dirut Krakatau Steel: Pabrik Hot Strip Mill 2 Pangkas Biaya Operasi 25 Persen
21 September 2021
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengklaim pabrik Hot Strip Mill 2 mampu menghasilkan lembaran baja dengan kualitas terbaik.
Baca SelengkapnyaPemakai Software Bajakan di Indonesia Terbanyak di Asia Pasifik
19 Maret 2019
Indonesia menjadi negara dengan jumlah perangkat lunak atau software bajakan terbanyak kedua se-Asia Pasifik
Baca SelengkapnyaRusia Diduga Meretas Pemilu AS, Obama Siapkan Tindakan
16 Desember 2016
Pernyataan Obama itu disampaikan menyusul hasil temuan CIA bahwa Rusia telah meretas pemilu AS dan para peretas terhubung ke Presiden Putin.
Baca SelengkapnyaPeretasan Ancam Kelanjutan Akuisisi Verizon terhadap Yahoo
16 Desember 2016
Investor khawatir pertasan Yahoo akan menjadi berita butuk bagi akuisisi Verizon terhadap Yahoo.
Baca Selengkapnya1 Miliar Akun Pengguna Yahoo Dibajak, Ini Kata Yahoo
15 Desember 2016
Informasi akun Yahoo yang dicuri termasuk nama, alamat email,
nomor telepon, tanggal lahir, password terenkripsi, pertanyaan
dan jawaban keamanan.
Jual Online Windows Bajakan Untung Rp 50 Juta Per Bulan
13 Juni 2016
Pengungkapan kasus ini berawal dari laporan pihak Microsoft Windows kepada jajaran Polda Metro Jaya terkait dengan dugaan adanya pemalsuan merek mereka.
Baca SelengkapnyaRusia Dituding Membajak Gedung Putih
8 April 2015
Juru bicara Dewan Keamanan Amerika Serikat menyatakan sistem keamanan data di Gedung Putih selalu diperbarui.
Baca Selengkapnya7 Juta Username dan Password Dropbox Bocor
14 Oktober 2014
Para hacker mengklaim bahwa mereka akan merilis lebih banyak pasangan username/password Dropbox.
Baca SelengkapnyaAkun Diretas, Yahoo! Tuding Pihak Ketiga
31 Januari 2014
Dengan mencuri nama asli dari folder yang telah terkirim (sent folder), peretas membuat pesan palsu.
Baca SelengkapnyaLapor Software Bajakan Dapat Rp 100 Juta
29 Mei 2013
Software bajakan marak digunakan oleh perseorangan hingga perusahaan.
Baca Selengkapnya