Tangis Ilmuwan LIPI untuk Paus Sperma Pemakan Plastik
Reporter
Shinta Maharani (Kontributor)
Editor
Amri Mahbub
Minggu, 25 November 2018 11:20 WIB
TEMPO.CO, Sharm el Sheikh - Peneliti Pusat Penelitian Oseonografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hagi Yulia Sugeha, menangis mengingat paus sperma yang menelan hampir enam kilogram sampah plastik di kawasan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Di depan ratusan peserta Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa di Sharm el-Sheikh, Mesir, Jumat sore (malam waktu Indonesia), 23 November 2018, Yulia tercekat dan tak bisa menahan kesedihannya.
Baca juga: Bangkai Paus Sperma Penuh Pastik, Greenpeace: Semua Perlu Serius
"Berita soal paus sperma menelan nyaris 6 kilogram sampah plastik sangat mengejutkan. Saya tak bisa menahan kesedihan," kata Yulia. Dia berdiri bersama tiga orang peserta lainnya di hari khusus yang dinamakan Sustainable Ocean Day: Ocean Voices di Hotel Hyatt Regency. Empat orang itu diminta bicara ihwal marine atau laut. Acara itu bagian dari United Nation Biodiversity Conference, 13-29 November 2018. Tempo berkesempatan meliput konferensi tersebut atas dukungan Climate Tracker, jaringan global yang beranggotakan 10 ribu jurnalis muda peliput iklim.
Yulia menyinggung paus sperma dan sampah plastik sebagai masalah utama laut di Indonesia selama enam menit. Sebagai kepulauan dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, Indonesia menjadi penyumbang sampah terbesar setelah Cina. Dalam laporan riset yang dimuat jurnal Science, Indonesia menghasilkan sampah plastik hingga 3,2 juta ton setiap tahun. Sampah plastik masalah terbesar terjadi di Indonesia yang menjadi satu di antara negara yang masuk kawasan segitiga karang (Cora Triangle).
Baca juga: Bangkai Paus Sperma Terdampar, Perutnya Berisi Plastik dan Sandal
Wakatobi, satu di antara yang kaya biota laut. Meski kaya keanekaragaman hayati laut, namun Indonesia memiliki segudang masalah. Sebagai negara berkembang, masih banyak orang Indonesia yang belum memiliki pendidikan yang cukup. Dia mengajak orang-orang di dunia datang ke Indonesia untuk melihat persoalan lingkungan, bicara dengan orang-orang di komunitas, membantu Indonesia, dan mendengarkan apa yang orang-orang Indonesia butuhkan. "Saya bicara dari hati. Dengarkan suara Indonesia," kata Yulia.
Dia satu-satunya peneliti LIPI yang hari itu ada di dalam Ocean Day. Hari khusus untuk laut itu melibatkan sejumlah lembaga konservasi keanekaragaman hayati laut (organisasi non-pemerintah), peneliti, pembuat film satwa liar di laut. Mereka membuat permainan dengan tema-tema laut dan mengenakan perlengkapan kehidupan bawah laut. Ada yang membawa balon besar berbentuk paus sperma, perahu, dan ikan-ikan. Ada pula yang membawa sampah plastik.
Sutradara film satwa liar,John Ruthven, memutar film perjalanan paus sperma di laut dalam. Dia menjelaskan bagaimana mamalia laut ini berkelompok dan kemudian menyusuri lautan untuk bermigrasi. Ada juga Diva Amon berbicara soal keanekaragaman hayati laut di bawah tekanan akibat perubahan iklim yang berdampak pada kehidupan satwa laut. Temperatur yang tinggi mengganggu kehidupan biota laut.
Baca juga: 5,9 Kg Sampah di Perut Bangkai Paus Sperma Terdampar
<!--more-->
Sekretaris Eksekutif International Whaling Commision atau badan global untuk konservasi ikan paus, Rebecca Lent, mengatakan sampah laut, polusi, kebisingan atau polusi suara akibat aktivitas manusia, dan perubahan iklim membawa dampak buruk untuk paus. Naiknya temperatur akibat perubahan iklim membuat paus berjuang keras untuk mendapatkan sumber makananan di laut dalam. Paus sperma merupakan jenis paus yang tak bisa memilah makanan.
Paus ini menelan sampah plastik karena mengira itu makanan. Sampah dalam jumlah banyak di lautan semakin tak terkendali dan terus mengancam populasi paus. International Whaling Commision membantu melakukan konservasi paus di pasifik utara. Paus-paus yang bermigrasi itu juga mendapat ancaman dari perburuan untuk industri. "Populasinya terus menurun dan kondisinya memprihatinkan," kata dia.
Rebecca mengajak semua orang untuk peduli pada kelangsungan hidup paus dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menempatkan sampah untuk didaur ulang. Selain itu, orang-orang di dunia juga sepatutnya mendengarkan hasil temuan para ilmuwan tentang kerusakan kehidupan laut saat ini.
Baca juga: 8 Hal Unik tentang Perburuan Paus Sperma di Lembata NTT
Dia meminta negara-negara peserta Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB untuk menyelesaikan persoalan sampah laut di negaranya masing-masing. Misalnya membuat skema pelarangan plastik demi kelestarian ekosistem laut secara berkelanjutan. "Beraksi dan buat progres di negaramu masing-masing," kata dia.
Data NOAA menunjukkan paus sperma merupakan mamalia laut yang banyak ditemukan di lautan dalam, dari Katulistiwa hingga ke tepi Arktik dan Antartika. Paus sperma menjadi target utama industri penangkapan ikan komersial sejak 1.800 hingga 1987. Paus sperma terancam punah karena masifnya perburuan.
Berbasis data jejaring mamalia laut yang terdampar mellaui Whale Standing Indonesia, terdapat 26 paus berbagai jenis yang terdampar di pesisir Indonesia tahun ini. Selain di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Paus sperma tahun ini ditemukan di Alor Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sabu Raijua Nusa Tenggara Timur, Bugeng Aceh Timur, Fak Fak Papua Barat, dan Seram Maluku. Indonesia memiliki lebih dari 35 spesies cetacean (paus dan lumba-lumba). Juga satu spesies sirenia yaituduyung (Dugong dugong).
Baca juga: Mengapa Paus Sperma Tidur Berdiri?
Paus sperma merupakan bagian dari spesies cetacea, yakni semua spesies paus, lumba-lumba dan ikan pari. Nama ikan paus sperma berasal dari organ spermaceti yang terletak di kepalanya. Organ ini menghasilkan zat lilin putih yang pada mulanya disalahpahami sebagai sperma oleh penangkap paus purba. Pada masa lalu lalu zat lilin putih itu digunakan oleh perusahaan komersial untuk membuat berbagai minyak dan produk seperti (cairan transmisi, aditif minyak motor, obat-obatan dan deterjen).
Hasil identifikasi tim dari Balai Taman Nasional Wakatobi menunjukkan di dalam perut bangkai paus tersebut ditemukan banyak sampah plastik, kayu, dan karet. Staf World Widlife Fund (WWF) menemukan bangkai paus di Pulau Kapota, Senin, 19 November 2018. Penyebab kematian paus sepanjang 9,5 meter dan lebar 4,37 meter belum teridentifikasi.
Hasil identifikasi tim tersebut menemukan sampah di dalam perut paus, di antaranya gelas plastik seberat 750 gram atau 115 gelas, 140 gram plastik, 150 gram botol plastik, 260 gram kantong plastik. Selain itu terdapat sampah kayu seberat 740 gram, dua sandal jepit, 200 karung nilon, 3,2 kilogram tali rafia. “Total mencapai 5,9 kilogram,” kata Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Heri Santoso dalam keterangannya.
Baca juga: 10 Fakta Menakjubkan Paus Sperma: Muntahan Paus, Otak Terbesar
Simak artikel lainnya soal paus sperma yang mati karena memakan plastik hanya di kanal Tekno Tempo.co.