Vaksin Covid-19 Gagal di Uji Klinis Awal, Merck Lempar Handuk
Reporter
Terjemahan
Editor
Zacharias Wuragil
Rabu, 27 Januari 2021 11:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Merck mengumumkan pada Senin 25 Januari 2021 kalau akan berhenti mengembangkan dua formula vaksin Covid-19 yang sedang dikerjakannya. Penyebabnya, respons kekebalan tubuh yang tidak sesuai dengan yang diharapkan dari fase awal uji klinis kedua formula itu.
Pengumuman itu mengejutkan karena Merck, perusahaan farmasi multinasional berbasis di Amerika Serikat, termasuk pembuat vaksin terkenal di dunia. Namun Merck menegaskan tetap akan berkomitmen dalam penelitian Covid-19 dan akan memberi fokus kepada dua potensi obat penyakit infeksi itu yang juga sedang dikembangkannya.
Baca juga:
Uji Klinis Tahap 2 Kandaskan Eksperimen Obat Alzheimer Ini
Salah satunya adalah obat antivirus. Sedang yang kedua adalah obat yang diharap menolong pasien Covid-19 di rumah sakit dengan cara menekan respons berlebihan sistem imun tubuh gara-gara infeksi SARS-CoV-2, virus corona penyebab Covid-19. Kedua obat diklaim telah menunjukkan hasil yang lebih menjanjikan dalam uji klinis.
"Kami kecewa dengan hasil calon vaksin Covid-19," kata Nick Kartsonis, wakil presiden senior untuk penyakit menular dan vaksin di Merck Research Laboratories. “Tapi ini juga memungkinkan kami untuk fokus kepada pengembangan kandidat therapeutic."
Berdasarkan keterangan yang dirilis Merck, vaksin Covid-19 dikembangkan dengan teknik virus vektor. Formula vaksin yang pertama berbasis virus campak seperti vaksinnya yang sudah puluhan tahun diproduksi Merck.
Sedang yang kedua dikembangkan bersama International AIDS Vaccine Initiative (IAVI) menggunakan basis vesicular stomatitis virus (VSV). Virus yang biasa menginfeksi unggas ternak itu dianggap sukses dalam membantu pengembangan vaksin untuk Ebola.
VSV juga dianggap tidak berbahaya digunakan untuk membawa materi protein paku SARS-CoV-2 ke dalam tubuh manusia, dengan maksud memicu sistem kekebalan tubuh. Protein paku, seperti diketahui, digunakan virus corona untuk menginfeksi sel, tepatnya sel dengan reseptor ACE-2.
Namun hasil uji klinis fase pertama melawan Covid-19 bicara berbeda. Harapan awal kalau virus bisa bereplikasi begitu mereka berada dalam tubuh dan formula bisa bertahan lama meski hanya satu kali penyuntikan tidak tercapai.
Kedua jenis formula juga hanya memproduksi kadar antibodi yang rendah melawan SARS-CoV-2. Ini dibandingkan dengan kadar antibodi yang terukur dalam darah pasien sembuh Covid-19.
Kartsonis mengatakan sulit untuk membandingkan hasil dari studi yang berbeda karena para penelitinya menggunakan cara yang berbeda-beda untuk mengukur kadar antibodi. Tapi jelas tidak ada dari antara formulanya yang mampu menunjukkan hasil sebaik vaksin Covid-19 yang dikembangkan Pfizer/BioNTech dan Moderna ataupun AstraZeneca/Oxford.
Dua yang pertama menyatakan menghasilkan antibodi beberapa kali lipat daripada kadar dalam darah pasien sembuh. Sedang AstraZeneca mengklaim mampu membangkitkan kadar antibodi setara jumlahnya dengan yang ada pada pasien sembuh.
Berbeda dari Kartsonis, Presiden IAVI, Mark Feinberg, masih berharap atas pengembangan vaksin Covid-19 bersama Merck tersebut. "Data yang sekarang memang mengecewakan, tapi ini bukan akhir dari program kami," katanya.
Menurutnya, bila formula diberikan tidak melalui suntikan, tapi lewat oral atau intranasal, mungkin akan memberi hasil lebih baik. Dia menuturkan kalau vaksin perlu diasup oleh sel-sel dengan reseptor ACE-2 agar bisa bekerja efektif. Membandingkan pemberian vaksin lewat hidung dan suntikan, Feinberg mengatakan, saluran pernapasan memiliki banyak sel dengan reseptor itu, berbeda dari sel di otot.
Baca juga:
Potensi Obat Generik Covid-19 Ivermectin, antara Keampuhan dan Penolakannya
"Kami berharap kolaborasi pengembangan vaksin Covid-19 dengan Merck terus berlanjut untuk mengeksplor peluang-peluang dari rute alternatif pemberian vaksin ataupun modifikasi tambahan terhadap virus yang menjadi vektornya," kata dia.
STATNEWS