Perdagangan Burung Kakatua di Indonesia Diteliti, Ini Hasil Temuannya
Reporter
Tempo.co
Editor
Zacharias Wuragil
Kamis, 20 Mei 2021 02:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi yang melibatkan ahli dari Australia dan Amerika Serikat menganalisa data perdagangan ilegal burung kakatua asal Indonesia sepanjang dua dekade ke belakang. Data yang dipelajari mencakup perdagangan ilegal di Asia Tenggara namun Indonesia dianggap satu negara--bahkan di dunia--yang paling membutuhkan konservasi untuk populasi kakatua miliknya.
Seperti yang dipublikasikan dalam jurnal Biological Conservation terbit Kamis, 20 Mei 2021, studi ini menemukan beberapa alasan kunci burung kakatua berisiko jadi korban perburuan. Dua yang terutama adalah daya tarik keluarga burung bernama latin Psittaciformes ini dan ironi penegakan hukum yang tetap membuka ruang untuk memperdagangkan jenis-jenis kakatua secara bebas.
"Termasuk dalam daya tarik burung kakatua adalah warna bulunya, ukuran tubuhnya, dan kemampuan menirukan suara lain," kata Rob Heinsohn, profesor di Fenner School of Environment and Society, The Australian National University, Canberra, dalam keterangan tertulis yang dibagikan bersamaan dengan publikasi jurnal.
Akibatnya, sepertiga dari hampir 400 jenis burung kakatua di dunia kini telah berstatus terancam punah. Dari jumlah itu, 89 di antaranya berada di Indonesia di mana empat jenis berstatus terancam dan dua sangat terancam atau critically endangered alias satu tahap sebelum benar-benar dinyatakan punah di alam liar.
"Tingginya permintaan sebagai burung peliharaan dan penangkapan dari habitat liar untuk diperdagangkan telah berkontribusi besar untuk menurunnya jumlah populasi burung kakatua di dunia," kata Heinsohn.
Namun demikian, Heinsohn mengungkap pula catatan dari hasil studi bahwa sekalipun perdagangannya cukup luas, jenis-jenis burung kakatua tak berisiko sama menjadi korban perburuan. Tim peneliti, kata dia, menggunakan model kriminalogi populer untuk menganalisis faktor-faktor yang berelasi dengan jenis kakatua yang diperdagangkan di Indonesia.
Dari enam sumber data yang digunakan, ada 31 jenis atau 34 persen dari seluruh jenis kakatua yang ada di Indonesia yang kerap diperdagangkan. Keenam sumber data berupa pasar perdagangan kakatua yang tersebar di Maluku dan Maluku Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta Raya, dan Medan Sumatera Utara.
Selain faktor kunci daya tarik jenis tertentu dan perdagangan yang masih relatif bebas, ada pula alasan lain yang ditemukan ikut mendukung kakatua mudah saja diburu untuk diperdagangkan. Faktor itu adalah habitat yang berada di wilayah dengan populasi manusia yang semakin tinggi.
"Itu semua menuntun kepada dugaan bahwa faktor-faktor berbasis permintaan dan peluang secara bersama dapat menerangkan sebagian dari perdagangan ilegal kakatua di Indonesia," kata ketua tim studi, Stephen Pires, profesor dari Department of Criminology & Criminal Justice, Florida International University, AS.
Lalu, karena cukup tingginya permintaan di dalam dan luar negeri memicu lahirnya banyak modus melabeli jenis tangkapan liar sebagai hasil penangkaran. Dampaknya, burung-burung kakatua bisa diekspor secara legal.
“Penegakan hukum yang lebih efisien sangat dibutuhkan," kata Heinsohn sambil menambahkan strategi perlindungan sarang bisa diterapkan untuk mengurangi perdagangan burung kakatua. "Termasuk juga melakukan edukasi dan kampanye konservasi yang menyasar anak-anak dan konsumen," katanya menambahkan.
Selain Heinhson dan Pires, dua peneliti lainnya yang terlibat dalam studi ini adalah Dudi Nandika dari IPB University dan Dwi Agustina dari Perkumpulan Konservasi Kakatua Indonesia.
Baca juga:
Perdagangan Liar, Orangutan Sumatera Menumpang Bus ALS Tujuan Tangerang